Senin, 01 November 2010

“PERSELINGKUHAN” HUKUM OLEH PENEGAK HUKUM DAN PERLUNYA MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA BAGI APARAT KEPOLISIAN

Prihatin, mungkin adalah satu kata yang pantas ada dalam benak kita sebagai rakyat yang mencintai bangsanya yang beberapa waktu yang lalu merayakan Hari Pahlawan melihat kondisi bangsa ini terutama dalam penegakan hukumnya. Ada pula kata lain yang pantas mewakili perasaan hati kita yakni geram. Kita prihatin karena dengan kondisi ini (penegakan hukum yang lemah) negara akan hancur perlahan namun pasti. Kita geram karena pihak yang menghancurkan tatanan hukum yang merupakan benteng negara ini adalah para penegak hukum itu sendiri. Adakah mungkin para pahlawan yang sekarang tengah berada di sisi-Nya prihatin dan geram pula melihat bangsa yang dulu mereka perjuangkan dengan tebusan harta dan nyawa serta ceceran darah dan keringat telah digadaikan kepada Si Gayus oleh oknum penegak hukum yang didasari keserakahan dan kemunafikan mereka? Jika hal ini ditanyakan kepada Ebiet G. Ade mungkin beliau akan menjawab pula, “tanyakanlah pada rumput yang bergoyang!”.
Kasus Gayus Tambunan yang kembali mencuat akhir-akhir ini adalah bukti betapa penegakan hukum diingkari oleh penegak hukumnya itu sendiri. Peristiwa kabur atau izin keluar tahanan (atau apalah namanya karena dilakukan berulang-ulang hingga 68 kali), menyeret setidaknya sembilan orang polisi termasuk seorang perwira berpangkat Komisaris Polisi. Bahkan banyak pihak menduga (atau mungkin bisa dikategorikan menganalisis) bahwa mereka yang sembilan orang tersebut hanya sejumlah pemain kecil saja dari jumlah pemain yang terlibat dalam permainan kotor ini.
Mungkin lebih pantas diibaratkan sebagai fenomena gunung es dimana keburukan yang tersembunyi itu lebih besar secara kuantitas dan lebih emergency secara kualitas. Artinya tidak mungkin jaringan permainan kotor ini hanya melibatkan sekelompok oknum kepolisian yang berjumlah sembilan orang dengan pangkat tertinggi di antara mereka adalah Kompol. Kasus-kasus serupa yang terjadi sebelumnya seperti Rekening Gendut Perwira POLRI, Mafia Hukum dan Mafia Peradilan setidaknya melibatkan seorang Jenderal. Lebih dari itu kasus-kasus perselingkuhan hukum ini biasanya tidak hanya melibatkan oknum kepolisian saja melainkan selalu juga terkait dengan institusi “penegak hukum” lainnya yakni Kejaksaan dan Pengadilan. Dikatakan emergency bahwa kasus ini sudah sedemikian berbahayanya karena telah mencederai rasa keadilan masyarakat yang harus diingat merekalah sebagai pemilik bangsa ini, bukan para oknum terlaknat itu.
 Bahkan pihak-pihak yang selama ini disandangkan padanya sebutan penegak hukum itu lebih pantas disebut dengan peribahasa sebagai pagar makan tanaman. Ya, bagaimana tidak, mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum justru menjadi barisan terdepan dalam melanggar hukum. Dan lebih mengkhawatirkan lagi, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penegak hukum ini bisa lebih berbahaya daripada apabila dilakukan oleh warga negara biasa. Pelanggaran yang dilakukan warga negara (orang awam/warga sipil) mungkin hanya akan menimbulkan konsekuensi hukuman yang harus diterima oleh personal (individu) tersebut. Tetapi pelanggaran hukum oleh “penegak hukum” dapat saja mempengaruhi proses maupun output daripada sistem hukum. Artinya perilaku bejat oknum “penegak hukum” akan mencederai proses dan hasil dari suatu sistem penegakan hukum. Meminjam kata-kata Hotman Sitompul dalam acara Legal Voice di Metro TV tadi malam bahwa hukum yang baik ketika ditegakkan oleh penegak hukum yang tidak baik maka akan menjadi tidak baik tetapi hukum yang tidak baik sekalipun ditegakkan oleh penegak hukum yang baik maka akan menjadi baik. Mungkin beliau hendak mengatakan bahwa hukum kita (baca: hukum Indonesia) sudah baik namun menjadi tidak baik karena memang para “penegak hukumnya” tidak baik sehingga rasa keadilan masyarakat yang harusnya dijunjung tinggi dalam penegakan hukum menjadi api jauh dari panggang, jauh dari harapan.
Berbicara penghianatan yang seringkali dilakukan oleh oknum penegak hukum khususnya di Kepolisian sesungguhnya harus kita lihat dari perspektif manajemen, secara khusus manajemen sumber daya manusia. Bahwa proses manajemen sumber daya manusia hendaknya meliputi planning, organizing, staffing, actuating, dan evaluating. Ini akan berarti bahwa tahap-tahap dalam proses tersebut harus dilakukan dengan baik karena jika satu tahap saja dilakukan dengan tidak baik maka akan berpengaruh kepada tahap selanjutnya.
Disini saya ingin mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa penyelewengan hukum oleh oknum kepolisian ini tidak bisa hanya kita lihat dari perspektif keadaan saja. Mungkin benar pula semboyan salah satu acara kriminal di televisi yang mengatakan bahwa “kejahatan tidak hanya terjadi akibat niat pelakunya tapi juga karena ada kesempatan!”. Tetapi jika kita perhatikan semboyan itu, dapat saja menjadi kritik yang tajam bahwa para penegak hukum, salah satunya para anggota kepolisian yang melakukan tindakan penyelewengan hukum tersebut bertindak hanya karena tuntutan keadaan (kesempatan). Jika begitu, yang lainnya, yakni yang saat ini dipercaya sebagai penegak hukum yang masih punya martabat dengan tidak melakukan penyelewengan bukan karena tidak ada niat tetapi belum datang kesempatan saja. Oleh karenanya tidak adil pula rasanya apabila kita lebih menyalahkan keadaan. Justeru kita harus lebih meng-eksplore unsur niat yang merupakan bagian dari kepribadian serta latar belakang personal anggota Kepolisian tersebut.
Jika kita melihat dari sudut pandang fungsi MSDM sudah nampak dengan jelas akhir-akhir ini bahwa sistem perencanaan sumber daya manusia bagi Kepolisian di negeri ini telah dicederai pula oleh transaksi illegal. Betapa menjamur pemahaman di masyarakat (dan dapat saja pemahaman masyarakat itu empiris) bahwa untuk menjadi seorang anggota Kepolisian di masa sekarang ini bisa disebut gampang-gampang susah. Gampang bagi yang berduit karena dengan menyediakan uang 50-100 juta sudah bisa menjadi anggota tanpa dipertimbangkan unsur kemampuan dan kesehatan jasmani maupun rohaninya. Sebaliknya susah bagi orang yang memiliki mutu yang baik secara jasmani dan rohani tapi tidak memiliki uang. Hal ini adalah masalah karena ketika perencanaan sumber daya manusia bagi Kepolisian ini berjalan tidak baik maka kita telah bisa menduga, proses yang akan terjadi selanjutnya jika dilihat dari perspektif MSDM juga akan berlangsung jelek.
Oleh karenanya untuk menjawab tantangan dalam penegakan hukum khususnya penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh penegak hukum khususnya Kepolisian hendaknya dilakukan dua hal. Pertama, tindak dengan tegas dan tanpa pandang bulu oknum aparat kepolisian yang saat ini telah melakukan dan terbukti secara hukum melakukan pelanggaran tersebut sebagai suatu tindakan represif. Kedua, bahwa untuk mencegah hal ini terjadi pada generasi aparat penegak hukum Kepolisian di masa depan hendaknya dimulai dengan memperbaiki sistem perencanaan dan sistem perekrutan aparat Kepolisian sebagai tindakan preventif bagi masa depan. Namun keduanya ini adalah tergantung dari kemauan dari POLRI itu sendiri sekaligus tantangan terutama bagi Jenderal Timur Pradopo yang sekarang menjabat sebagai Kapolri.

Untuk menutup tulisan ini penulis ingin mengatakan bahwa hukum harus ditegakkan pertama-tama kepada dan oleh penegak hukum itu sendiri. Artinya penegak hukum harus mempunyai tekad menegakkan hukum bagi dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum bertekad menegakkan hukum bagi masyarakat. Tunggulah kehancuran negara beserta sistem hukumnya ini jika dijalankan oleh para oknum-oknum pengkhianat/aktor penegak hukum. Mereka yang saya sebut aktor ini hanya akan menegakkan hukum dengan pura-pura artinya hukum hanya akan diberlakukan bagi masyarakat luas tetapi merasa dirinya kebal hukum sehingga bisa bertindak sewenang-wenang terhadap hukum yang seharusnya ditegakkannya.