Minggu, 30 Juni 2013

SENANG TERIMA BLSM? DIMANAKAH MORAL KITA?

Oleh: Asep Cahyana, S.IP.


Sejak menjadi sebuah agenda kebijakan sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM bersubdisi, kebijakan pemberian Bantuan Langsung Swadaya Masyarakat (BLSM) memang sudah menuai banyak kritik. Di satu sisi, Pemerintah mendasarkan kebijakan tersebut pada asumsi bahwa dengan menyubsidi bahan bakar minyak (BBM) maka Pemerintah sama saja dengan menyubsidi orang kaya. Hal itu dikarenakan para pengguna mobil pengguna BBM bersubsidi adalah orang-orang menengah keatas. Sehingga, pemerintah memandang hal ini tidak sesuai dengan asas keadilan dan tidak pro rakyat. Namun di sisi lain, tidak sedikit yang menentang pemberian bantuan langsung kepada masyarakat sebagai sebuah kebijakan yang secara moral tidak mendidik masyarakat. Masyarakat diajarkan untuk menengadahkan tangan dan dibiasakan untuk menerima semua dengan ‘gratisan’, tanpa usaha.

Perdebatan mengenai jadi atau tidaknya kenaikan harga BBM  memang sudah berlalu. Pemerintah, dengan wewenangnya, dan dengan dukungan mayoritas suara DPR ‘yang katanya’ wakil rakyat, telah mengambil keputusan dengan disahkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013. Namun demikian, sejumlah masalah yang tidak kalah pelik justeru baru dimulai. Ya, permasalahan terkait dengan pencairan BLSM ditemukan dimana-mana, terutama mengenai pemberian BLSM yang salah sasaran. Kritik dari para pihak yang dari semula menolak kebijakan ini pun kembali mengapi-api menyalahkan pemerintah. Pemerintah tentu saja ada dalam posisi yang harus (mau) disalahkan karena memang tidak bisa membuktikan pernyataan mereka untuk memberikan bantuan .

Mental masyarakat kita.
Sebenarnya, kejadian semacam ini bukan yang pertama kali terjadi. Berbagai  macam bantuan pemerintah yang berlabel bantuan sosial atau bantuan untuk orang miskin sesudah sejak lama banyak ditemukan salah sasaran. Orang yang mampu, bergelang emas, ber-hand phone Blackberry dan sejumlah atribut kekayaan lainnya ikut ngantri mengambil bantuan ini. Sementara, masyarakat yang tidak mampu dalam arti yang sebenar-benarnya hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa dirinya dinilai pemerintah sebagai orang yang ‘mampu’ dan tidak ada dalam list masyarakat kurang mampu. Sungguh dunia sudah terbalik dibuatnya. Mengharukan…..!!! (Begitu kata Mas Tukul).

Terlepas dari kealpaan yang dibuat Pemerintah itu, sudah seharusnya sebagai masyarakat kita pun ikut mengawal kebijakan yang sudah ‘terlanjur’ dibuat ini. Caranya, paling tidak dengan menilai diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk orang yang pantas menerima bantuan itu? Apakah kita merelakan harga diri kita sebagai orang yang diberi hanya karena beberapa lembar rupiah? Sudahkah kita menjadi orang yang paling pantas menerimanya? Jika menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur, maka rasa-rasanya tidak akan ada orang ‘beratribut kemewahan’ yang ikut ngantri bantuan sosial.

Sebaliknya, arahkan perhatian kita kepada tetangga-tetangga kita, masyarakat di sekitar kita, barangkali ada diantara mereka yang lebih kurang beruntung daripada kita. Jika mereka sudah mendapatkan apa yang menjadi hak mereka itu, kita ikut senang. Sebaliknya, jika mereka tidak mendapatnya sudah menjadi kewajiban kita untuk memberikan saran pendapat kepada pemerintah. Sudah selayaknya, mereka mendapatkan haknya. Adalah tindakan yang sangat terpuji jika kita ikut membantu pemerintah untuk memberikan bantuan kepada pihak yang paling membutuhkan. Memang benar, kita semua sama-sama warga negera Indonesia dan sama-sama berhak atas perhatian Negara kepada kita. Namun, diantara warga yang berhak,  masih ada warga Negara yang lebih berhak mendapatkan prioritas.

Moral Bangsa
Sudah jelas dinyatakan dalam Pancasila, Dasar Negara dan Dasar Filsafat bangsa kita bahwa bangsa kita adalah bangsa yang bermoral dan berbudaya yang baik. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sudah seharusnya terinternalisasi dalam jiwa setiap manusia Indonesia. Dengan begitu, setiap tindak-tanduk kita sebagai bangsa tidak akan keluar dari lima dasar filsafat dan pandangan hidup kita bersama tersebut.
Jika saja, setiap putera bangsa memegang tegus filsafat tersebut. Jika saja, para puteri negeri dengan tegas mempertahankan harga diri untuk ditukar dengan lembaran rupiah secara ‘gratisan’. Jika saja, bangsa ini konsisten menolak segala bentuk pemberian yang tidak mendidik dan sebaliknya melawan ketidak beradayaan dengan perjuangan dan kerja keras serta bergotong royong maka pemerintah akan malu dibuatnya. Bayangkan, ratusan triliun uang tersebut akan kembali kepada Pemerintah yang akan sadar dengan sendirinya bahwa mereka tidak becus membuat kebijakan yang mendidik rakyatnya. Lalu, nanti bersama-sama kita menuntut Pemerintah untuk membuktikan sekali lagi, mampukah mereka mengalokasikan anggaran untuk pembangunan yang lebih nyata bagi kemajuan Negara bukan dengan menghambur-hamburkan uang untuk menyogok rakyat sesaat.

Mereka sudah mulai.
Disaat kita baru selesai membaca tulisan ini, saudara kita sudah memulainya. Seorang kakek tua yang tinggal di gubuk bekas kandang kambing di Jawa Timur dengan tegas  menolak untuk diberikan BLSM dengan alasan ada orang yang lebih membutuhkan daripada dirinya. Beliau mengatakan bahwa selama dirinya masih mampu bekerja, beliau tidak berniat menggantungkan diri pada bantuan orang lain.

Di lain tempat, seorang ibu datang kepada pejabat setempat untuk mengembalikan surat pemanggilan sebagai penerima BLSM karena merasa dirinya tak layak menerima bantuan ini. Mungkin masih ada lagi yang sudah memulainya, bertanya kepada diri seberapa layakkah disebut sebagai orang miskin lalu ‘take action’ melawan kebijakan pemerintah dengan aksi nyata “Menolak Diberi!!!”. 

Tetapi, saat kita berbicara mengenai kemuliaan orang-orang tadi, jauh lebih banyak yang rela berdesakan mengantri walaupun uang di dompet masih tebal.

Penulis adalah Sekretaris Jenderal Gerakan Restorasi Sosial (GRASS). Lulusan Sarjana Ilmu Pemerintahan STISIP Widyapuri Mandiri Sukabumi dan sekarang bekerja sebagai Konsultan Pemerintahan di PT. ITTC untuk Kementerian Pertahanan RI.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar