Selasa, 06 Januari 2015

Perbedaan Amdal dengan UKL-UPL

Apa yang dimaksud dengan AMDAL?
AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan.
Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
“…kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; dibuat pada tahap perencanaan…”
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan.
Dokumen AMDAL terdiri dari :

  • Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
  • Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
  • Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
  • Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.
Apa guna AMDAL?

  • Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
  • Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
  • Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
“…memberikan alternatif solusi minimalisasi dampak negatif”
“…digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan”
Bagaimana prosedur AMDAL?
Prosedur AMDAL terdiri dari :

  • Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
  • Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
  • Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
  • Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan).
Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL).
Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Siapa yang harus menyusun AMDAL?
Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000.
Siapa saja pihak yang terlibat dalam proses AMDAL?
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan.
Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.
Apa yang dimaksud dengan UKL dan UPL ?
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.
UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.
Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :

  • Identitas pemrakarsa
  • Rencana Usaha dan/atau kegiatan
  • Dampak Lingkungan yang akan terjadi
  • Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
  • Tanda tangan dan cap
Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :

  • Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
  • Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
  • Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara
Apa kaitan AMDAL dengan dokumen/kajian lingkungan lainnya ?
AMDAL-UKL/UPL
Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan Keputusan Menteri LH 17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi dalam pengelolaan limbahnya.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib
Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam operasionalnya menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan tersebut tidak bisa dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus seperti ini kegiatan tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan.
Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Kegiatan dan/atau usaha yang sudah berjalan yang kemudian diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL baru.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Sukarela
Kegiatan yang telah memiliki AMDAL dan dalam operasionalnya menghendaki untuk meningkatkan ketaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat melakukan audit lingkungan secara sukarela yang merupakan alat pengelolaan dan pemantauan yang bersifat internal. Pelaksanaan Audit Lingkungan tersebut dapat mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun 1994 tentang Panduan umum pelaksanaan Audit Lingkungan.
Penerapan perangkat pengelolaan lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib AMDAL tidak secara otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan sekaligus dapat “memperbaiki” ketidaksempurnaan yang ada dalam dokumen AMDAL.
Dokumen lingkungan yang bersifat sukarela ini sangat bermacam-macam dan sangat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000, dokumen-dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan lainnya.

Sumber: http://www.narrada-sigma.com/tag/apa-perbedaan-amdal-dan-ukl-upl/



Minggu, 04 Januari 2015

UKL-UPL Celah bagi Kerusakan Lingkungan Hidup?

Mendapatkan proyek mengenai lingkungan hidup (LH) dan bekerja dengan tim terkait dengan pengadaan dokumen yang berhubungan dengan LH merupakan pengalaman tersendiri bagi saya. Terkait dengan karir yang saya tekuni, proyek ini adalah ranah baru bagi saya untuk mengetahui seperti apa sih dokumen-dokumen yang terkait atau berhubungan dengan LH. Proyek itu adalah membuat “buku” panduan penyusunan dan pemeriksaan dokumen UKL-UPL.
13628898771886027409
Sebagian Buku Panduan UKL-UPL (dok pribadi)
Apa itu UKL-UPL? UKL adalah singkatan dari Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan UPL adalah singkatan untuk Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup. UKL-UPL muncul terkait dengan PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi usaha dan atau kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL wajib melakukan UKL dan UPL. Jadi, segala kegiatan yang tidak termasuk dalam Permen LH No. 11/2006 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL, wajib menyusun dokumen UKL-UPL.
Apa artinya bagi saya saat menggarap proyek ini? Seiring dengan waktu berjalan, saya mendapatkan sebuah gambaran bahwa UKL-UPL menjadi semacam ketatalaksanaan LH selain AMDAL. Jadi, terkait hal yang berhubungan dengan aktivitas yang berhubungan dengan LH dokumen UKL-UPL menjadi semacam penjabaran secara tertulis tentang bagaimana mengelola LH sebelum maupun sesudah kegiatan berlangsung yang berhubungan atau tidak lepas dari lingkungan sekitarnya. Dokumen UKL-UPL sendiri menjadi semacam patokan bahwa aktivitas kita terkait dengan lingkungan berjalan aman-aman saja dan yang berhubungan dengan pergeseran atau kerusakan LH itu sudah diminimalisir dari awal pengerjaannya.
Detail dokumen UKL-UPL pun secara fungsional menjadi syarat bagi pemrakarsa untuk dijadikan acuan dalam menyempurnakan desain usulan kegiatannya terkait dengan tempat/lingkungan dimana ia beroperasi. Sementara itu, adanya dokumen UKL-UPL secara umum menjadi syarat bagi pemerintah (dalam hal ini instansi terkait) untuk memberikan izin beraktivitas pemrakarsa apakah, terkait dengan pemantauan dan pengelolaan LH, sudah layak atau memadai untuk melakukan usahanya. Dengan begitu, baik pemrakarsa usaha/kegiatan diawal-awal aktivitasnya sudah berkewajiban memberikan “penggambaran umum” pada pemerintah seperti apakah kegiatannya akan berlangsung (terkait dengan LH). Sedangkan dari sisi pemerintah dokumen UKL-UPL menjadi acuan pertama dalam mengawasi kebenaran berlangsungnya kegiatan pemrakarsa yang tidak menimbulkan dampak terhadap LH.
Salah satu bagian dari dokumen UKL-UPL yang tergolong penting tetapi tidak masuk dalam peraturan mutlak adalah rona lingkungan awal. Informasi mengenai rona lingkungan awal ini perlu karena penjabarannya justru kelak akan berguna terutama bagi pemrakarsa kegiatan apabila di kemudian hari mendapatkan tuntutan terkait dengan LH. Adapun yang dicantumkan dalam bagian ini secara umum adalah kondisi topografi dan geografi, pola kepemilikan dan pemanfaatan lahan, kondisi sosial ekonomi, dan kondisi kesehatan masyarakat.
Belajar dari proyek buku ini, saya mendapatkan suatu pemahaman bahwa pemerintah tatkala memberikan izin pada dunia usaha atau aktivitas yang ada kaitannya dengan LH mau tak mau mereka memetakan banyak hal. Itulah sebabnya mengapa kesan penerbitan izin di negeri ini kesannya bertele-tele. Salah satu sebabnya, ya mungkin ini juga. Tetapi, membaca lebih lanjut tentang prosedur UKL-UPL yang sedemikian spesifik dan menuntut pula keterlibatan jejaring instansi terkait, saya mendapatkan satu kenyataan betapa ketatnya peraturan terkait lingkungan sudah ditetapkan dari awal.
Senyatanya, keberadaan dokumen UKL-UPL tidak hanya urusan instansi lingkungan hidup. Dari menyimak
13629145571616074943
Beberapa Judul Buku Panduan UKL-UPL (dok pribadi)
per proyek pembuatan buku ini saya mendapatkan bahwa per kegiatan, entah itu industri kecil atau besar atau hanya rumahan (mungkin) perlu membuat dokumen UKL-UPL. Sebagai contoh, buku panduan yang saya garap spesifik mengarah pada kegiatan-kegiatan yang potensi kerusakan lingkungannya tergolong besar. Sebutlah soal perkebunan kelapa sawit, potensi lingkungan yang terjadi ada kemungkinan seperti tanah longsor, banjir, terkait soal pembalakan liar atau penggunaan hutan lindung untuk hal ini, meski dengan alasan untuk peningkatan ekonomi warga sekitar atau secara lebih luas meningkatkan pemasukan negara [?] Apalagi jika itu dibuat dalam format “kebun” kelapa sawit. Atau seperti “industri” elektroplating yang limbah cair atau limbah padat tergolong, kalau menurut saya, tinggi. Lalu, seperti “industri” pembuatan celana jeans yang saya pernah menyaksikan limbah cairnya malah dibuang ke sungai.
Melihat apa yang saya “temukan” di akhir, tampaknya soal limbah semacam itu justru lebih banyak dihasilkan oleh “industri-industri” rumahan yang saya sendiri tidak tahu apakah usaha-usaha ini diperhatikan oleh instansi terkait. Belum lagi soal pengurusan dokumen UKL-UPL yang saya perhatikan (mungkin) tidak begitu tersosialisasikan dan tidak populer terutama untuk “industri-industri kecil”.
Terkait dengan dokumen UKL-UPL sendiri, bisa dikata dokumen ini sudah maksimal memberikan penjabaran seperti apa sebaiknya aktivitas pemrakarsa dikerjakan sedemikian rupa untuk meminimalisir segala hal yang terkait dengan LH. Begitu juga soal pemeriksaan dokumennya, dari buku panduan ini terjabarkan seperti apa pemeriksaan sewajarnya dilakukan. Hanya saja, kita memang tidak tahu diluar ini apakah ada kongkalikong antara pemrakarsa atau instansi terkait soal pelolosan izin kegiatan pemrakarsa atau pelaku usaha. Padahal, dari dokumen yang disetujui saja sudah terlihat potensi dampak lingkungan yang mungkin terjadi.
Melihat pemberitaan akhir-akhir ini terkait dengan lingkungan hidup tampaknya banyak kalangan yang cenderung mengabaikan potensi dampak LH yang kemungkinan dapat terjadi. Ambil contoh, pengelolaan tambang (atas nama) rakyat yang mengabaikan akibat-akibat yang ditimbulkan pasca mereka membuat lubang-lubang galian. Belum lagi soal remeh temeh, seperti pembuatan jalan tol di pinggiran kota Jakarta, saya ambil contoh, pengerjaannya menyisakan polusi debu yang tentunya mengganggu aktivitas warga sekitar. Sepengalaman saya, untuk yang terakhir ini, tiap pagi warga menyaksikan sisa-sisa jatuhan tanah yang dipindahkan (mungkin) oleh truk-truk angkutan pada malam hari tetapi tidak disiram atau dibersihkan lagi di aspal-aspal jalanan yang dilalui. Belum lagi aspal-aspal yang meluruh, rusak, akibat tonase berat truk-truk itu menyebabkan moda transportasi ringan yang lewat dijalan (mobil/motor pribadi, angkot, bis angkutan) harus berhati-hati berjalan.
Menyikapi hal-hal di atas sebenarnya sudah sudah sewajarnyalah instansi-instansi yang terlibat benar-benar turut mengawasi jalannya aktivitas usaha yang erat berhubungan dengan LH. Jangan sampai instansi-instansi ini hanya menerima/memberi “tukar guling” yang saling menguntungkan seraya meloloskan begitu saja potensi-dampak yang terkait dengan pencemaran LH. Meski saya masih positive thinking tetap saja ada celah dimana pelaku usaha abai pada LH. Adapun dokumen UKL-UPL tetap hanya menjadi dokumen LH belaka apabila pihak-pihak terkait tidak benar-benar melaksanakan pedoman-pedoman yang tercantum dalam dokumen tersebut hanya karena berharap perizinan kegiatan/usaha keluar dan menutup mata terhadap potensi kerusakan LH di belakang hari.

Sumber: http://green.kompasiana.com/polusi/2013/03/09/ukl-upl-celah-bagi-kerusakan-lingkungan-hidup-540449.html

Sabtu, 03 Januari 2015

AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)

Sumber: http://dinidwinanda.blogspot.com
Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan manusia. Dengan kata lain, lingkungan hidup tidak terlepas dari kehidupan manusia. Manusia mencari makan dan minum serta memenuhi kebutuhan lainnya dan ketersediaan atau sumber-sumber yang diberikan oleh lingkungan hidup dan kekayaan alam sebagai sumber pertama dan terpenting bagi pemenuhan berbagai kebutuhannya.
Untuk menghindari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh exploitasi sumberdaya pada proses pembangunan berkelanjutan, maka pembangunan dilaksanakan berdasarkan pada sistem analisis mengenai dampak lingkungan yang disingkat AMDAL.
Berikut ini 4 hal yang tercakup dalam studi AMDAL.
1. Penyajian informasi lingkungan (PIL) dan analisis dampak lingkungan (Amdal) untuk studi bagi kegiatan yang direncanakan
2. Penyajian evaluasi lingkungan (PEL) dan studi evaluasi lingkungan (SEL) bagi studi untuk kegiatan yang telah berjalan
3. Rencana kelola lingkungan (RKL), studi yang merencanakan pengelolaan dampak kegiatan kepada lingkungannya.
4. Rencana pemantauan lingkungan (RPL), studi pemantauan pengelolaan lingkungan.
5. Kerangka Acuan (KA), kerangka acuan yang memberikan dasar arahan pelaksanaan SEL atau AMDAL dengan merinci hal-hal yang perlu dilaksanakan dan bersifat khusus untuk kegiatan yang telah berjalan atau sedang direncanakan.
 
Berdasarkan pasal 16 Undang-undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup yang meneybutkan bahwa setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan, wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan atau disingkat AMDAL yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah. Yang dimaksud dampak penting adalah perubahan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh adanya suatu kegiatan.
Kegiatan apa saja yang perlu dilengkapi dengan AMDAL, tertuang dalam peraturan pemerintah nomor 29 tahun 1986 yaitu setiap rencana berupa:
  • Perubahan bentuk lahan dan bentuk alam, seperti: pembuatan jalan, bendungan, jalan kereta api dan pembuakaan hutan;
  • Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tidak terbaharui, seperti; pertambangan dan eksploitasi hutan;
  • Proses dan kegiatan lain yang secara potential dapat menimbulkan pemborosan, perusakan dan kemerosotan pemanfaatan sumber daya alam dan energi, seperti, pemanfaatan tanah yang tidak diikuti dnegna konservasi dan penggunaan energi yang tidak diikuti dengan teknologi yang dapat mengefisienkan pemakainya.
  • Proses dan hasilnya yang mengancam kesejahteraan penduduk, pelestarian kawasan konservasi alam dan cagar budaya, seperti kegiatan yang proses dan hasilnyamenimbulkan pencemaran, penggunaan energi nuklir dan sebagainya;
  • Introduksi jenis tumbuhan dan jenis hewan, seperti introduksi jenis tumbuhan dan jenis hewan, seperti; introduksi suatu jenis tumbuhan baru yang dapat menimbulkan jenis penyakit baru pada tanaman; introduksi suatu jenis hewan baru yang dapat mempengaruhi kehidupan hewan yang telah ada;
  • Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati;
  • Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar mempengaruhi lingkungan;
 
sumber : BPLH Kota Bekasi

Jumat, 02 Januari 2015

Pengertian Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup, sering disebut sebagai lingkungan, adalah istilah yang dapat mencakup segala makhluk hidup dan tak hidup di alam yang ada di Bumi atau bagian dari Bumi, yang berfungsi secara alami tanpa campur tangan manusia yang berlebihan. Lawan dari lingkungan hidup adalah lingkungan buatan, yang mencakup wilayah dan komponen-komponennya yang banyak dipengaruhi oleh manusia.

Definisi Lingkungan Hidup di Indonesia
Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya. 

Dalam lingkungan hidup terdapat ekosistem, yaitu tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.

Merujuk pada definisi di atas, maka lingkungan hidup Indonesia tidak lain merupakan Wawasan Nusantara, yang menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alamiah dan kedudukan dengan peranan strategis yang tinggi nilainya, tempat bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam segala aspeknya.

Secara hukum maka wawasan dalam menyelenggarakan penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah Wawasan Nusantara.

Penjanjian Nasional Berkaitan Lingkungan
Indonesia termasuk dalam perjanjian: Biodiversitas, Perubahan Iklim, Desertifikasi, Spesies yang Terancam, Sampah Berbahaya, Hukum Laut, Larangan Ujicoba Nuklir, Perlindungan Lapisan Ozon, Polusi Kapal, Perkayuan Tropis 83, Perkayuan Tropis 94, Dataran basah, Perubahan Iklim - Protokol Kyoto (UU 17/2004), Perlindungan Kehidupan Laut (1958) dengan UU 19/1961.

Masalah Lingkungan Hidup di Indoensia
Bahaya alam: banjir, kemarau panjang, tsunami, gempa bumi, gunung berapi, kebakaran hutan, gunung lumpur, tanah longsor,limbah industri, limbah pariwisata, limbah rumah sakit.
Masalah Lingkungan hidup di Indonesia saat ini: penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerah perkotaan (Jakarta merupakan kota dengan udara paling kotor ke 3 di dunia); asap dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak dapat dipadamkan; perambahan suaka alam/suaka margasatwa; perburuan liar, perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi; penghancuran terumbu karang; pembuangan sampah B3/radioaktif dari negara maju; pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan; semburan lumpur liar di Sidoarjo, Jawa Timur; hujan asam yang merupakan akibat dari polusi udara.

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Lingkungan_hidup