Rabu, 01 Juni 2016

Tradisi Samenan di Era Pendidikan Gratis

Oleh: Asep Cahyana

Samenan dan Tradisi Pendidikan
Ada sebuah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut acara kenaikan kelas dan perpisahan di Jawa Barat, yaitu Samen atau Samenan. Di daerah lain di nusantara mungkin terdapat beragam istilah yang mempunyai arti sama dengan istilah ini.
Samen adalah suatu kegiatan yang telah menjadi kebiasaan bahkan tradisi dalam siklus tahunan pendidikan di Indonesia. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada setiap akhir tahun pelajaran, yakni  pada akhir catur wulan III (pada kurikulum 1994) atau pada akhir semester kedua pada kurikulum setelahnya. Kegiatan ini memang  tidak terlepas dari kegiatan pembagian buku laporan pendidikan (rapor peserta didik).  Tidak diketahui sejak kapan tradisi dalam dunia pendidikan ini dimulai. Mungkin saja sejak Politik Balas Budi oleh Belanda (Politik Etis) yang ditandai dengan dibolehkannya orang pribumi mengenyam pendidikan, atau mungkin pada masa-masa setelah itu dimana pendidikan mulai menjadi perhatian dalam perjalanan bangsa Indonesia, sesuai amanat Konstitusi.
Namun, terlepas dari kapan, dimana dan siapa yang memulainya, kegiatan tahunan ini patut diapresiasi dalam rangka mendukung kelangsungan pendidikan. Pada setiap tingkatan pendidikan, baik SD, SM maupun SMA, samenan seringkali diisi dengan acara-acara yang mendukung kreasi peserta didik khususnya pada bidang seni dan budaya. Peserta didik dari berbagai tingkatan, didorong untuk berkreasi seni sesuai dengan kemampuannya masing-masing, ada yang menari, menyanyi, berpuisi, memainkan drama, dan lain sebagainya. Tak jarang, kegiatan tahunan ini mengusung tema pelestarian budaya nasional dan budaya daerah setempat, seperti tarian-tarian adat, lagu-lagu daerah dan pakaian-pakaian daerah.
Pada sekolah-sekolah di Jawa Barat, kenaikan kelas dan perpisahan seringkali diisi dengan suatu upacara adat tradisional dengan tokoh Ki Lengser sebagai tokoh utamanya. Acara tersebut selalu menjadi primadona dan kebanggaan tersendiri baik  bagi siswa, orangtua, bahkan masyarakat sekitar, apalagi jika para pelaku acara adalah para peserta didik itu sendiri. Secara umum, dapat dikatakan bahwa  kegiatan semacam ini cukup penting dalam mengembangkan kreasi peserta didik, pelestarian budaya serta menjadi penutup tahun pelajaran yang menyenangkan.
Namun, di sisi lain, hajatan tahunan sekolah semacam ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tak jarang setiap orang tua peserta didik dibebankan dengan iuran yang cukup besar untuk menanggung biaya acara ini secara tanggung renteng. Kemampuan keuangan orang tua peserta didik yang bervariasi terkadang terabaikan (baca:diabaikan), dengan dalih bahwa kegiatan ini adalah untuk kemajuan peserta didik itu sendiri dan gengsi sekolah tersebut diantara sekolah lain. Walaupun di banyak sekolah besaran iuran setiap peserta didik ditentukan dalam rapat dengan Komite Sekolah, namun hal ini biasanya tidak memberi banyak arti. Pada akhirnya, tetap saja setiap orang tua “mau tidak mau” dan “siap tidak siap”, harus membayarkan sejumlah uang dalam tenggat waktu yang biasanya cukup singkat, hanya beberapa minggu, untuk biaya hajat tahunan sekolah ini. Demi kemajuan peserta didik. Demi gengsi sekolah.

Pendidikan Gratis
Pada masa dimana “pendidikan gratis” atau “sekolah gratis” belum menjadi kebijakan Pemerintah, biaya tahunan samenan ini mungkin tidak terlalu jadi perhatian publik. Namun, berbeda halnya dengan masa kini, dimana pameo pendidikan gratis sudah menggaung demikian hebatnya sebagai akibat kebijakan (politik) Pemerintah di bidang pendidikan. Pungutan sekecil apapun, akan menjadi perhatian masyarakat, menjadi objek pengawasan kualitas pelayanan publik dan isu di bidang pendidikan yang cukup “seksi” dan sensitif.
Apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah melalui kebijakan pendidikan memang patut dihargai. Pendidikan merupakan amanat konstitusi negara, yaitu Undang-undang Dasar 1945, bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan Nasional bangsa Indonesia dan Pemerintah wajib membiayainya. Bahkan pada perkembangan konstitusi melalui amandemen, ditegaskan bahwa Pemerintah wajib menyediakan biaya untuk bidang pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, dengan anggaran yang sudah ada sedemikian, sudahkan Pemerintah memberikan kualitas pendidikan yang lebih baik atau minimal setara dengan kulitas pendidikan di masa sebelumnya dimana dibuka ruang yang lebar baik partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan?
Jawabannya dapat kita cermati dalam fakta di lapangan. Bantuan Pemerintah untuk membiayai pendidikan melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) misalnya, banyak dikeluhkan oleh para pelaku pendidikan di sekolah, hanya mampu membiayai operasional secara minimal. Artinya, pelayanan publik di bidang pendidikan yang diberikan pada anak-anak yang dibiayai bantuan yang diberikan Pemerintah dalam rangka “pendidikan gratis” pun adalah pendidikan dengan standar pendidikan yang sangat minimal. Lalu bagaimana dengan kualitas pendidikan yang menjadi cita-cita, apakah akan diabaikan begitu saja?
Samenan, salah satu kegiatan tahunan di sekolah sebagaimana penulis bahas di atas, hanya salah satu saja dari kegiatan pengembangan diri peserta didik yang menjadi “korban” kebijakan pendidikan gratis. Banyak kegiatan lainnya, yang sangat bermanfaat bagi peserta didik namun tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan anggaran di sekolah yang sangat terbatas oleh dana dari BOS. Sementara, untuk memungut dana dari orang tua siswa, sudah dibatasi dengan kebijakan dari berbagai tingkatan atau sebetulnya tersandera dengan opini publik “pendidikan gratis” yang sudah semakin menggaung.  Simalakama.  Akhirnya, kebanyakan pelaku pendidikan di sekolah hanya menyelenggarakan pendidikan apa adanya, pendidikan seadanya dan akhirnya “pendidikan apa-apaan”.
Sebenarnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas) masih membuka ruang adanya partisipasi masyarakat, termasuk orang tua peserta didik dalam rangka pembiayaan pendidikan. Hal ini diperjelas pula dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar, yang menyatakan bahwa pembiayaan pendidikan berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Masyarakat. Pembiayaan dari  masyarakat itu sendiri dari berasal dari sumbangan peserta didik atau orangtua/walinya, sumbangan dari pemangku kepentingan pendidikan dasar selain peserta didik atau orangtua/walinya, bantuan dari lembaga lain yang tidak mengikat, serta bantuan pihak asing yang tidak mengikat. Dalam Peraturan Menteri ini diatur  mengenai bentuk bantuan yang boleh dibebankan dari orang tua peserta didik, sehingga muncul istilah “pungutan” dan “sumbangan”.
Pungutan biaya terhadap orang tua peserta didik sudah tidak diperbolehkan lagi dalam penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar. Ciri dari pungutan adalah sifatnya yang mengikat baik besar nominal biaya maupun jangka waktu pemenuhannya. Pungutan juga biasanya dikaitkan dengan jenis pelayanan tertentu, misalnya jika tidak membayar maka si peserta didik tidak diperbolehkan mengikuti ujian atau tidak diberikan buku rapornya. Hal inilah yang secara tegas dilarang oleh Peraturan Menteri ini. Namun, selain pungutan dikenal istilah sumbangan, dimana sifatnya tidak mengikat baik nominal maupun tenggat waktu pemenuhannya. Bahkan jika orangtua peserta didik tidak mampu atau tidak bersedia membayar, hal ini tidak ber-resiko apapun terhadap pelayanan yang diterima oleh si peserta didik.
Namun, pada kenyataan di lapangan, antara pungutan dan sumbangan ini menjadi bias, sulit dibedakan. Pungutan-pungutan di beberapa sekolah, dengan legitimasi Komite Sekolah serta merta bisa saja menjadi pungutan jika melihat dari sifatnya yang mengikat. Kesepakatan bersama, adalah salah satu istilah paling populer yang seringkali menjadi dalih pungutan. Alhasil, para peserta didik dimana orang tuanya tidak mau atau tidak mampu membayar iuran tersebut seringkali mendapat sanksi baik secara kelembagaan atau minimal secara sosial. Masih banyak ditemukan ijazah atau rapor yang ditahan oleh pihak sekolah. Pada kasus lainnya, banyak orang tua yang mengeluh karena anaknya mendapatkan sanksi sosial berupa pengasingan dan berbagai macam bullying lainnya oleh teman-temannya atau diskriminasi pelayanan oleh pihak sekolah karena tidak dipenuhinya pungutan berbungkus sumbangan ini.
Untuk mengatasi bias antara sumbangan  dan pungutan tersebut,  beberapa Pemerintah Daerah telah melakukan upaya untuk menekan pungutan-pungutan berbalut sumbangan ini di sekolah-sekolah di wilayahnya. Pemerintah DKI Jakarta misalnya, telah menggagas adanya Deklarasi Sekolah Transparan dan Akuntabel yang telah diselenggarakan secara akbar di Lapangan Monas pada tanggal 30 Desember 2014. Dengan adanya komitmen bersama ini diharapkan pungutan-pungutan yang tidak jelas terhadap peserta didik oleh pihak sekolah hilang sama sekali. Tekad ini ditegaskan dengan Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Sekolah Transparan dan Akuntabel dimana didalamnya terdapat larangan keras terhadap segala bentuk pungutan di sekolah. Sanksinya pun tidak tanggung-tanggung, dapat berupa pemecatan kepada sekolah dari jabatannya.  Dengan upaya tersebut diharapkan pungutan-pungutan yang tidak jelas terhadap peserta didik oleh pihak sekolah hilang sama sekali. Mungkinkah? Bisa jadi, karena takut dipecat mereka akan patuh walupun banyak pula kepala sekolah yang mengeluh karena anggaran dari BOS dan BOSDA Provinsi DKI morat-marit untuk mengatasi operasional sekolah yang tinggi.

Resolusi
Kondisi tersebut akan menjadi sangat mungkin diwujudkan jika pembiayaan pendidikan oleh Pemerintah telah sesuai dengan harapan berbagai pihak dalam rangka memberikan kualitas pelayanan pendidikan terbaik bagi peserta didik. Dengan dukungan anggaran  yang pas-pasan, sementara tuntutan terhadap kualitas pendidikan sangat tinggi, hanya akan menjadi jurang masalah yang dalam dan lebar yang terkadang harus dihadapi sendirian oleh pelaku pendidikan di sekolah. Jangankan untuk kegiatan-kegiatan tambahan yang bersifat pengembangan, untuk menunjang kegiatan wajib saja sekolah harus benar-benar berhemat. Simalakama. Ingin sekolah maju, pendidikan  maju, peserta didik maju, sementara dana BOS mundur maju, bahkan seringkali pencairannya. Akhirnya, kegiatan-kegiatan bermakna kreatifitas, pengembangan seni dan budaya, serta perekat hubungan sekolah dengan orangtua seperti kegiatan samenan menjadi korban pertama atau korban kesekian. Akhir tahun pendidikan pada masa kini dan akan datang mungkin saja akan hening dan sepi tanpa adanya apresiasi terhadap peserta didik, guru, dan orang tua adalah potret sebuah tradisi pendidikan yang tergerus.
Pemerintah harus lebih bijak menyikapi hal ini. Boleh saja bahkan sangat baik jika Pemerintah terus menggaungkan pendidikan gratis sehingga dapat diakses oleh setiap kalangan masyarakat tanpa kecuali. Namun, hendaknya kebijakan ini diikuti dengan alokasi dan pengelolaan anggaran pendidikan yang berorientasi pada pelayanan bagi penerima layanan, yaitu peserta didik. Kebijakan anggaran pendidikan yang baik tentu tidak akan mengabaikan dan mengorbankan prestasi peserta didik atau prestasi sekolah. Penganggaran bantuan pendidikan oleh Pemerintah harus  dapat menjamin berkembangnya keunggulan-keunggulan (prestasi) peserta didik dan sekolah.
Di sisi lain, kebijakan anggaran pendidikan juga seharusnya mempertimbangkan nilai-nilai tradisi pendidikan yang berkembang di masyarakat, seperti kegiatan samenan dalam konteks pembahasan ini. Bukankah konsep pendidikan yang sedang diusung bukan hanya harus cerdas intelektualnya melainkan juga cerdas secara emosional, spiritual, bahkan kultural? Maka, kegiatan-kegiatan tradisi berkaitan dengan pendidikan di era pendidikan gratis ini harus pula mendapatkan perhatian agar menjadi pendukung kokohnya soko guru pendidikan di negeri tercinta ini.