Selasa, 13 Juni 2017

Pedestrian Sekitar Jalan Rasuna Said

Topik pembahasan Grass kali ini masih terkait fasilitas bagi pejalan kaki atau pedestrian. Topik ini masih sangat menarik untuk terus dibahas mengingat begitu variatifnya ketersediaan pedestrian antara satu lokasi dengan lokasi lainnya, khususnya di Ibu Kota. Kali ini Grass memotret fasilitas pedestrian yang ada di sepanjang Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

Kondisi jalan dan trotoar dekat Kantor KPK

Lokasi ini merupakan salah satu tempat yang cukup strategis di Ibu Kota. Hal ini dikarenan banyaknya gedung-gedung perkantoran di sepanjang jalan Rasuna Said, baik gedung pemerintahan, perusahaan-perusahaan besar, mall-mall hingga kantor-kantor kedutaan besar. Beberapa Kantor pemerintahan, sebut saja KPK, Ombudsman, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Kesehatan, BUMN Jasa Raharja, dll. Kantor Kedutaan antara lain Kedutaan Australia (Kantor lama), Kedutaan Arab Saudi, Kedutaan Rusia, Kedutaan Malaysia, Kedutaan Belanda, Kedutaan Polandia, Kedutaan India, dll. Adapun perusahaan antara lain Asuransi Tugu, Bank Danamon, Mall Setiabudi One, Mall Plaza Festival, Hotel Royal Kuningan, Hotel JS Luwansa, Hotel Grand Melia, dll. Keberadaan kantor-kantor tersebut tentu saja memerlukan dukungan fasilitas publik, salah satunya pedestrian yang memadai. 

Menara Bank Danamon

Secara umum fasilitas pedestrian di sepanjang jalan HR Rasuna Said telah tersedia. Namun, mengenai kualitas dan spesifikasinya, Grass perlu membahasnya lebih rinci karena antara satu lokasi dengan lokasi lainnya tidak persis sama. Namun secara umum (kebanyakan) trotoar di sepanjang jalan ini masih menggunakan pavin blok persegi panjang berwarna merah. 

Trotoar di salah satu sudut jalan HR Rasuna Said

Kondisi trotoar ini lebarnya rata-rata antara 1 - 2 meter saja. Dengan lebar seperti itu sebenarnya masih kurang ideal untuk lokasi dengan tingkat aktivitas yang sangat sibuk seperti lokasi ini. Hal ini karena fasilitas pedestrian seharusnya dapat menjamin pergerakan orang pada lokasi tertentu dengan tetap lancar dan nyaman. 

Pedestrian harus menjamin pergerakan orang 

Trotoar di lokasi ini didukung dengan pohon-pohon peneduh jalan dan beberapa fasilitas lainnya. Fasilitas yang dapat ditemui antara lain tempat duduk dan jembatan penyeberangan yang terintegrasi dengan Halte Busway. 

Pohon palm sepanjang trotoar

Pada beberapa lokasi ditemukan adanya tiang-tiang besi yang sangat kokoh sebagai penghalang yang dipasang pada beberapa lokasi persimpangan (gerbang) gedung. Konon hal ini dimaksudkan untuk menghalau pengendara sepeda motor yang terkadang nakal yaitu mengendarai sepeda motor di atas trotoar pada saat terjadi kemacetan padahal hal itu tentu saja tidak diperbolehkan karena dapat mengganggu dan membahayakan pejalan kaki. 

Tiang besi di trotoar depan Kantor Kedubes Australia

Namun sangat disayangkan pula adanya aktivitas yang tidak sesuai namun terjadi di pedestrian lokasi ini. Pelanggaran-pelanggaran tersebut seperti masih adanya kendaraan yang terparkir di trotoar atau adanya pedagang kaki lima yang berjalan di sepanjang trotoar khususnya pada lokasi-lokasi sekitar jembatan penyeberangan. 

Sepeda motor terparkir di trotoar

Perilaku-perilaku semacam itu seharusnya tidak terjadi apabila masyarakat memahami fungsi dan manfaat pedestrian tersebut. Maka dari itu, yuk kita ikut menyosialisasikan pentingnya pedestrian..

Minggu, 11 Juni 2017

Galian Pengganggu Pedestrian

Sarana pedestrian yang memadai adalah hak pejalan kaki. Hal tersebut secara eksplisit maupun implisit diatur dalam UU tentang Jalan dan UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Oleh karena itu, ketersediaannya merupakan salah satu kewajiban bagi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Pedestrian adalah hak masyarakat

Terkait kewajiban itu, sikap pemerintah daerah satu sama lain berlainan. Ada pemda yang sangat concern terhadap pedestrian, sebut saja Bu Risma Walikota Surabaya dan Kang Emil Walikota Bandung yang merepresentasikan sikap pemda nya masing-masing terhadap pedestrian. Ada pemda yang tidak peduli sama sekali dan ada juga yang nampaknya setengah-setengah dalam menjamin ketersediaan fasilitas publik ini. Nah, pada artikel kali ini Grass akan membahas jenis yang terakhir dengan mengambil lokus di Kota Jakarta.

Salah satu ruas pedestrian di Jakarta Selatan

Kota Jakarta adalah Kota Metropolitan, Ibu Kota Negara, pusat pemerintah, pusat perekonomian, dsb. Sangat wajar apabila Jakarta memiliki fasilitas publik yang mumpuni. Namun pada kenyataannya fasilitas publik khususnya pedestrian masih mengkhawatirkan. Bukan saja karena pembangunannya masih seadanya, melainkan juga karena proyek-proyek galian yang mengganggu namun tidak ada tindakan dari Pemda DKI.

Galian di samping pedestrian
Bagaimana pendapat Anda tentang gambar di atas? Gambar tersebut Grass ambil di ruas Jalan Jatipadang - Pejaten, dekat Halte Busway Jatipadang. Proyek galian pipa salah satu perusahaan PAM mengotori pedestrian. Luberannya sangat banyak sehingga bukan hanya mengotori namun membuat pedestrian tersebut berbahaya untuk dilewati karena menjadi licin.

Tumpukan karung tanah galian

Padahal pedestrian ini baru dibangun pada akhir tahun 2016. Belum sempat masyarakat menggunakannya, sudah terganggu lagi dengan keberadaan proyek ini. Material bangunan saja disimpan seenaknya diatas trotoar sehingga menghalangi masyarakat yang akan lewat.

Pipa besar disimpan diatas trotoar

Anehnya, si pelaksana proyek sepertinya tidak menghargai hak-haknya pejalan kaki, dan nampaknya dengan cuek melanggar prosedur proyek di tempat umum. Lihat saja tanah lumpur berceceran kemana-mana, papan penutup proyek tidak dipasang sebagaimana mestinya. 

Lokasi proyek galian

Kondisi ini sangat memprihatinkan karena menurut pemantauan Grass tidak hanya terjadi di satu lokasi saja melainkan pada banyak lokasi di Jakarta. Alhasil, pedestrian yang sudah dibangun dengan anggaran yang besar menjadi tidak ada artinya karena tidak dapat dipergunakan sebagaimana mestinya oleh pejalan kaki.

Haruskah pembangunan pedestrian di Ibu Kota Negara ini selalu tumpang tindih dan bongkar pasang? Silakan berikan komentar Saudara sekalian. 

Grass


Rabu, 24 Mei 2017

Pedestrian Sekitar Jalan Cilandak KKO - Ragunan

Kali ini Grass kembali membahas masalah fasilitas untuk pejalan kaki (pedestrian) di wilayah DKI Jakarta. Lokasi yang menjadi titik Pemantauan Grass adalah sepanjang jalan Cilandak KKO - Kebun Binatang Ragunan - Jl. Harsono RM Jakarta Selatan. Lokasi ini menarik perhatian untuk diobservasi mengingat terdapat Kebun Binatang Ragunan yang menjadi salah satu ruang publik dan Halte Busway Ragunan sebagai salah satu prasarana transportasi publik.

Ruang publik seperti kebun binatang dan halte Busway, pada umumnya banyak dikunjungi masyarakat. Hal ini memerlukan fasilitas yang memadai, salah satunya fasilitas pejalan kaki atau pedestrian. Kebun Binatang Ragunan misalnya, setiap hatinya dikunjungi ribuan pengunjung yang banyak diantara mereka datang menggunakan kendaraan umum kemudian berjalan kaki.  Adapun bagi halte Busway, fasilitas pejalan kaki menjadi salah satu unsur pendukung yang tidak bisa terpisahkan. Kondisi ini perlu menjadi perhatian Pemerintah DKI Jakarta agar menjamin ketersediaan fasilitas publik yang satu ini.

Tim melakukan pemantauan dimulai dari ujung timur Jalan Cilandak KKO di depan deretan ruko. Pedestrian di sekitar jalan ini menurut hemat kami tidak layak seperti foto yang kami dapat berikut ini.

Situasi pedestrian di Jl. Cilandak KKO
Sebagaimana dapat dilihat pada gambar diatas, trotoar hanya terdiri dari susunan balok-balok beton penutup saluran air. Susunannya pun tidak rapat dan banyak terdapat celah yang membahayakan karena bisa saja membuat pejalan kaki terperosok. Keberadaan bak kontrol dengan besi yang menonjol menambah bahaya ruang pejalan kaki ini.

Tiang listrik di pedestrian
Selain banyak terdapat celah-celah yang membahayakan, ruang pejalan kaki di lokasi ini juga terhambat oleh keberadaan tiang listrik dan pohon pelindung jalan. Posisi sarana utilitas itu memang tidak wajar karena berada persis di tengah ruang pejalan kaki, sehingga dapat menghambat lalu lintas pejalan kaki. Begitu pula dengan pohon yang merebah menutupi trotoar, sudah pasti menyebabkan trotoar tidak dapat dilewati.

Patok di trotoar
Gambar di atas adalah gambar turunan mmenuju Pintu Selatan Kebun Binatang Ragunan. Grass mendapati pada trotoar di lokasi ini terdapat patok di tengah ruang pejalan kaki ini. Entah siapa yang meletakkannya disana dan apa motifnya. Namun, melihat bentuk dan polisinya, patok berupa paralon dengan coran semen ini rupanya sengaja diletakkan disana.

Tiang listrik
Tiang listrik dengan posisi tidak normal kembali kami temukan di ruang pejalan kaki, sekitar Pintu Selatan Kebun Binatang Ragunan. Tiang listrik berbentuk balik tersebut berdiri persis di sisi jalan. Sedangkan ruang pejalan kakinya itu sendiri banyak berupa tanah bercampur pasir. 

Bersambung....


Jumat, 10 Februari 2017

RT/RW: POSISI KOPRAL KEWENANGAN JENDERAL

Oleh: Asep Cahyana

Jika akhir-akhir ini ramai orang bicara tentang Ahok karena kasus dugaan penistaan agama, pernah juga ramai pertentangan Ahok dengan para Ketua RT dan RW se-DKI Jakarta. Saat itu, Ahok mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan RT dan RW untuk melaporkan kinerja pelayanannya lewat aplikasi Qlue. Tidak tanggung-tanggung, tiga kali laporan dalam sehari. Ketua RT dan RW berontak tidak setuju. Masalah ini berbuntut pada Gerakan 3 Juta KTP Tolak Ahok.

Rasa-rasanya tidak ada orang dewasa yang tidak mengenal istilah Pak RT (Ketua Rukun Tetangga) dan Pak RW (Ketua Rukun Warga), baik di perkotaan maupun pedesaan. Apabila pada komunitas masyarakat ada masalah, dia adalah orang pertama yang dituju. Mungkin itu juga sebabnya dunia entertainment banyak melibatkan karakter Pak RT di film, talk show, ataupun sinetron karena perannya sangat erat dengan keseharian masyarakat.

Posisi Kopral dengan kewenangan bak Jenderal. Pertama, dia merupakan respresentasi penguasa terhadap akar rumput. Misalnya, pada sejumlah alur pelayanan publik, tanda tangan dan stempel-nya sangat mujarab bagi lancarnya proses pelayanan. Kedua, ia merupakan representasi suatu masyarakat terhadap penguasa atau komunitas lain. Misalnya, sosialisasi sejumlah kebijakan dan program pembangunan Pemerintah atau sosialisasi pembangunan pabrik biasanya cukup diwakili Ketua RT dan RW. Kedua posisi ini memiliki posisi tawar yang cukup strategis dalam lingkup, situasi, dan kepada pihak tertentu.

Posisi tawar yang strategis merupakan powers, yang menurut teori klasik sangat rentan terhadap penyelewengan. Powers tend to corrupt, begitu kata Lord Acton. Maka, tidak mengherankan apabila banyak kabar Raskin disunat RT, iuran sampah dikorupsi RW, RT lakukan pungli pengantar KTP, RW makan CSR pabrik, dan lain-lain. Dengan fakta-fakta itu, banyak orang menganggap ia menjadi penghambat pelayanan publik yang berkualitas.

Keberadaan RT dan RW di Indonesia tidak terlepas dari sejarah pendudukan Indonesia oleh Jepang. Sebagaimana dibahas dalam buku Sejarah Indonesia karangan Sartono Kartodirdjo, ialah Pemerintah Jepang yang memperkenalkan sistem tata pemerintahan RT dan RW negeri kita. Dalam bahasa Jepang, Rukun Tetangga dikenal dengan nama Tonarigumi dan Rukun Warga adalah Azzazkyokai. Konon, sistem ini dipakai oleh Jepang dalam rangka merapatkan barisan diantara para penduduk Indonesia sekaligus sebagai pengawasan dan pengendalian Pemerintahan Militer Jepang atas suatu wilayah.

Menurut Permendagri No. 5/2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, RT dan RW merupakan salah satu Lembaga Kemasyarakatan yang ada di desa atau kelurahan. Lembaga Kemasyarakatan dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra Pemerintah Desa dan lurah dalam memberdayakan masyarakat. Jenisnya bermacan-macam, mulai dari Lembaga Adat, LKMD/LPMD, PKK, Karang Taruna, dll.

Dari sekian banyak Lembaga Kemasyarakatan, RT dan RW adalah yang paling erat dengan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Hal ini karena tugasnya membantu Pemerintah Desa dan Lurah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Fungsinya antara lain: pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintahan lainnya; pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga; pembuatan gagasan dalam pelaksanaan pembangunan dengan mengembangkan aspirasi dan swadaya murni masyarakat; dan penggerak swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat di wilayahnya.

Dengan adanya fungsi pelayanan administrasi pemerintahan tersebut, maka dalam banyak pelayanan publik Surat Pengantar RT/RW selalu dipersyaratkan. Untuk membuat KTP, Keterangan Domisili, pengajuan Beasiswa Miskin dan lain-lain, surat ini bagai “surat sakti”. Tanpa surat pengantar tersebut, hampir mustahil pihak Desa atau Kelurahan akan memberikan pelayanan dalam prosedur normal.

Pertanyaannya, apakah RT dan RW mampu menyelenggarakan pelayanan publik sesuai tuntutan UU Pelayanan Publik? Faktanya, pengurus RT dan RW adalah anggota masyarakat yang memiliki profesi beragam. Sehingga yang sering terjadi, Ketua RT baru bisa ditemui pada malam hari selepas ia bekerja sebagaimana profesi dan pekerjaannya. Artinya, pelayanan publik hanya diberikan dengan sisa waktu dan tenaga sehingga cenderung tidak optimal.

Konon pada masa yang lalu, tidak ada orang dewasa benar-benar ingin menjadi Ketua RT atau RW. Kebanyakan orang yang pernah menduduki “jabatan” itu karena terpaksa. Untuk menghibur diri, dibumbuilah dengan embel-embel sebagai pengabdian.  Alasannya, Ketua RT dan Ketua RW adalah “aparat negara” paling berat tanggung jawabnya tapi kesejahteraannya nol. Berbeda dengan saat ini, banyak orang bela-belain melapor kesana-kemari karena kalah pemilihan Ketua RT atau RW. Rupanya pada zaman ini, honor Ketua RT/RW tidak separah dulu. Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui berbagai anggaran, memberikan alokasi yang lumayan. Sehingga sudah banyak juga orang yang menekuninya full time sebagai sebuah pekerjaan.

Kewenangan besar RT dan RW dalam pelayanan publik nyata adanya. Namun Pemerintah tidak boleh mempertaruhkan kualitas pelayanan publik dengan membiarkan pelayanan dilakukan dengan manajemen alakadarnya. Pemerintah mesti memerankan fungsi kontrol secara optimal. Menghilangkannya dari sistem pemerintahan di desa atau kelurahan bukan merupakan pilihan yang tepat. Sebagai alternatif, dapat dengan mencabut fungsi pelayanan administratif yang ada RT dan RW atau dengan tetap memberikan fungsi pelayanan administratif namun dengan jaminan kepatuhan secara penuh terhadap ketentuan UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik.

Selasa, 07 Februari 2017

BIROKRAT PRODUK KEKERASAN SEKOLAH KEDINASAN

Oleh: Asep Cahyana

Lagi-lagi dunia pendidikan, lagi-lagi terjadi di sekolah tinggi kedinasan. Kekerasan di perguruan tinggi kedinasan seolah tidak ada hentinya. Baru-baru ini publik dikejutkan lagi dengan berita Amirullah Adityas Putra, taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, yang tewas penuh luka memar. Amirullah diduga tewas setelah diberikan “pembinaan” oleh seniornya di lingkungan kampus milik Kementerian Perhubungan ini. Dua tahun lalu di institusi yang sama, Dimas Dikita Handoko harus meregang nyawa, setelah “dipanggil” ke kosan seniornya. Sebelumnya pada tahun 2008, Agung Bastian Gultom mengalami hal serupa, tewas di tangan senior.

Hal yang sama kerap terjadi pada lembaga pendidikan sejenis untuk para calon birokrat ini. Sebut saja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (dahulu STPDN) Jatinangor misalnya. Di sekolah  kedinasan milik Kementerian Dalam Negeri ini tercatat beberapa kasus praja yang meninggal tak wajar. Kasus tewasnya Cliff Muntu pada tahun 2007 adalah salah satu yang paling menyita perhatian publik. Saat itu, pihak IPDN diduga menutup-nutupi kasus ini dengan meminta petugas pemulasaraan jenazah untuk menyuntik formalin ke tubuh korban. Lebih mengejutkan lagi ketika Dr. Inu Kencana Syafei, salah satu dosen IPDN, mengungkapkan dalam buku IPDN Undercover: Sebuah Kesaksian Bernurani, bahwa ada lebih kurang 17 kematian tak wajar praja IPDN dalam kurun 1990-2007.

Kita sepatutnya miris dengan kekerasan di dunia pendidikan ini. Namun seharusnya kita lebih khawatir lagi bila mengingat akan jadi apa lulusan sekolah-sekolah kedinasan itu. Birokrat. Mereka akan menjadi pegawai-pegawai negara yang menentukan kemana negeri ini akan dibawa. Mereka sebenarnya lebih memerlukan otak yang sehat daripada otot yang kuat atau perut yang tahan pukul. Masyarakat yang akan mereka layani lebih memerlukan senyum yang berkembang daripada wajah yang penuh kebencian. Akankah pola pendidikan penuh dendam dan tinju seperti itu memenuhi kebutuhan birokrat harapan rakyat?

Eksklusivitas
Sekolah kedinasan dilaksanakan dengan berbagai ekslusivitas bagi para peserta didiknya. Mulai dari penamaan peserta didik (praja, taruna, siswa, dll), seragam khas (yang diagung-agungkan), senioritas, asrama terpisah yunior-senior, slawir (hormat ketika bertemu senior), disiplin semi-militer, hingga jaminan setelah lulus langsung jadi Pegawai Negeri. Hal-hal ekslusif ini berinteraksi hingga mengkristal membentuk tradisi hingga hukum tidak tertulis bahwa senior selalu benar dan yunior selalu salah. Kepatuhan terhadap senior seolah-olah adalah hal mutlak, kendati senior berlaku salah. Apalagi, tidak jarang otoritas kampus memberikan kewenangan kepada para senior untuk melakukan pembinaan terhadap yuniornya.

Kepatuhan tanpa batasan benar-salah dari yunior kepada senior adalah tradisi yang jelas-jelas tidak sehat. Apalagi para lulusan ini akan langsung menjadi birokrat dan sangat mungkin membawa tradisi tidak baik ini ke dalam dunia kerja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila virus ewuh pakewuh hingga penyakit Asal Bapak Senang (ABS) terus menerus terjadi dalam tubuh birokrasi yang semakin rapuh. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme akan semakin sulit diberantas karena bawahan tidak berani dan tidak boleh berani-berani menegur atasan yang khilaf. Pengembangan karier dengan merit sistem jelas akan terhambat karena yang berlaku adalah senioritas “abang dulu baru situ”. Lebih parahnya lagi, apabila ada yunior yang maju karena berprestasi, maka akan dijegal bareng-bareng hingga ambruk. Oleh karena itu bibit-bibit penyakit birokrasi semacam ini harus dipangkas dan dicegah sejak dini, sejak para birokrat dalam fase penyemaian di lembaga-lembaga pendidikan.

Patologi Birokrasi
Patologi birokrasi atau penyakit birokrasi adalah interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel lingkungan yang salah (Dwiyanto, 2011: 63). Adapun macam-macam patologi birokrasi antara lain: paternalistik, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan, pembengkakan birokrasi dan fragmentasi birokrasi. Pada patologi birokrasi paternalistik, atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakuan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa saja yang dilakukan atasan. Kita dapat melihat, tuntutan senioritas tanpa batas yang dipertontonkan oleh para  senior peserta didik calon birokrat menunjukkan paternalistik yang sudah terbentuk bahkan ketika mereka belum memasuki dunia birokrasi yang sesungguhnya.

Padahal Perpres Nomor 80/2011 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025 menetapkan sumber daya  manusia aparatur dan budaya kerja aparatur (culture set dan mind set) sebagai dua dari delapan area perubahan. Maka, untuk mewujudkan cita-cita Reformasi Birokrasi itu, penyakit-penyakit pada sumber daya manusia aparatur itu harus diberangus sejak kecambah. Begitu juga budaya dan pola pikir aparatur yang “sesat” dan  “menyesatkan” harus segera diberantas agar tidak menular pada generasi berikutnya. Dengan begitu visi Reformasi Birokrasi “terwujudnya pemerintahan kelas dunia” bisa benar-benar terwujud.

Sudah saatnya Pemerintah menghilangkan eksklusivitas yang ada pada perguruan tinggi kedinasan itu karena terbukti lebih banyak menuai mudharat daripada manfaatnya. Kedisiplinan dan keunggulan bukan hanya dapat diraih dengan pola pendidikan semi-militer, pukulan, tendangan, serta seragam khusus dengan kebanggan berlebihan. Pun sumber daya manusia aparatur yang berkualitas bukan hanya dapat dibentuk dengan mengkarantina “bahan baku” calon birokrat pada sebuah sistem pendidikan milik Kementerian tertentu. Indonesia masa kini telah memiliki perguruan tinggi baik negeri maupun swasta dengan lulusan sarjana yang berkualitas. Spesialisasi keahlian sesuai keperluan setiap Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah bisa dibentuk pada jenjang setelah sarjana. Kita patut mencontoh TNI dan Polri telah mulai melakukannya dengan merekrut calon perwira dari lulusan sarjana.

Minggu, 05 Februari 2017

Pedestrian Kota Semarang

Pada beberapa artikel sebelumnya, Grass telah menyajikan pembahasan-pembahasan mengenai pedestrian di DKI Jakarta. Secara umum kami menyajikan hal-hal baik maupun yang masih memerlukan perbaikan pada prasarana dan sarana pedestrian di DKI Jakarta. Nah, pada artikel kali ini kami akan menyajikan beberapa foto hasil observasi terhadap pedestrian di Kota Semarang. Kebetulan beberapa waktu yang lalu kami berkesempatan untuk mengunjungi Kota Lumpia tersebut.

Secara umum pedestrian di Kota Semarang yang sudah memperoleh perhatian (baca: penataan) adalah pada lokasi-lokasi strategis seperti Simpang Lima. Pada lokasi tersebut seperti yang dapat diobservasi oleh Grass, pedestrian yang tersedia cukup memadai, khususnya dilihat dari lebar trotoarnya.

Pedestrian di sekitar Simpang Lima
Simpang Lima merupakan salah satu area publik di Kota Semarang. Kedudukannya yang berada di pusat Kota Semarang menjadi tujuan banyak orang, dari dalam maupun luar kota Semarang. Hal ini tidak disia-siakan oleh Pemerintah Kota Semarang, salah satunya dengan cara membangun pedestrian yang cukup memadai sekitar Simpang Lima ini.

Pedestrian Simpang Lima di subuh hari
Berbagai aktivitas publik terlihat di sekitar Simpang Lima. Masyarakat banyak yang menikmati pedestrian di lokasi ini dengan berjalan kaki maupun bersepeda. Aktivitas ini dapat dilihat setiap hari pada pagi hari.

Masyarakat berolahtaga di sekitar Simpang Lima

Pada saat Tim GRASS mengunjungi lokasi ini di hari kerja sekitar pukul 05.30 Wib, sudah banyak masyarakat yang beraktivitas fisik disana baik tua ataupun muda, lelaki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat terhadap fasilitas pedestrian sudah tak dapat diragukan lagi. Maka, tidak benar apabila ada Pemerintah Daerah manapun yang menunda pembangunan pedestrian dengan alasan tidak ada masyarakat yang mau berjalan kaki.

Minat berjalan masyarakat
Kondisi pedestrian yang cukup luas ini juga ditunjang dengan sarana pelengkap lainnya seperti tempat duduk. Hal ini cukup baik mengingat sebagian masyarakat bukan hanya datang untuk berjalan melainkan juga untuk menikmati kondisi kota. Maka keberadaan sarana penunjang seperti tempat duduk cukup penting. Selain itu pedestrian di lokasi ini juga telah dilengkapi jalur pemandu untuk tunanetra.

Kursi sebagai sarana pelengkap
Hal lainnya yang menjadi nilai tambah adalah lingkungannya yang asri dan hijau. Keberadaan tumbuh-tumbuhan yang ditata sedemikian rupa menjadikan keindahan dan kenyamanan bagi pengguna pedestrian. 

Tumbuhan di sekitar pedestrian
Gambar-gambar lainnya terkait pedestrian di Kota Semarang sebagai berikut:
Pedestrian dengan peneduh tumbuhan rambat

Pedestrian berpola dan jalur pemandu tunanetra
Tiang penghalau sepeda motor

Pedestrian dengan Canopy Merah



Kamis, 02 Februari 2017

GELIAT PEDESTRIAN KOTA BEKASI

Pada artikel sebelumnya, kami menyajikan kondisi pedestrian di DKI Jakarta. Secara umum, pedestrian di DKI Jakarta ada yang sudah baik namun banyak juga yang masih memprihatinkan. Nah, kali ini Tim akan menyajikan pantauan Tim terhadap fasilitas pedestrian di wilayah sekitar DKI l, yaitu Kota Bekasi.

Pedestrian sekitar Balai Kota

Beberapa waktu lalu, Tim berkesempatan mengunjungi Kota Bekasi dan mendapati Kota Bekasi telah memiliki pedestrian yang cukup baik di beberapa lokasi. Tim telah mengambil foto berikut ini.

Pedestrian Sekitar Balaikota Bekasi

Telah dimulainya perbaikan trotoar di Kota Bekasi menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Bekasi mulai berkomitmen untuk menyediakan prasarana dan sarana pejalan kaki bagi masyarakat. Kita berharap upaya tersebut tidak berhenti pada sebagian pedestrian saja melainkan terus dilakukan setiap tahun hingga seluruh pedestrian di Kota Bekasi dapat menjadi pedestrian yang sesuai standar dan memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat sebagai pengguna.

Selasa, 31 Januari 2017

Fakta Pedestrian DKI Jakarta Belum Ramah Pengguna Kursi Roda

Pedestrian atau sarana dan prasarana untuk pengguna pejalan kaki, sejatinya adalah barang publik. Karena kedudukannya sebagai barang publik maka prasarana dan sarana pejalan kaki tersebut harus bisa memenuhi kebutuhan seluruh warga masyarakat: tua, muda, laki-laki, perempuan, pegawai, karyawan, termasuk penyandang disabilitas.

Permasalahan yang dapat ditemukan dengan mudah pada prasarana dan sarana pedestrian di Indonesia, salah satunya adalah terkait ketersediaan fasilitas khusus bagi orang berkebutuhan khusus dan atau penyandang disabilitas. Hal itu dapat pembaca cermati pada video di bawah ini. Video ini kami ambil di salah satu ruas jalan di daerah Jakarta Timur.


Pada video di atas dapat kita lihat betapa kesulitannya seorang pengguna kursi roda ketika hendak melewati pedestrian. Hal ini dikarenakan pedestrian dalam hal ini trotoar yang disediakan belum ramah terhadap pejalan kaki, khususnya pengguna kursi roda. Akhirnya pengguna kursi roda lebih memilih untuk berjalan di badan jalan raya dengan berdesak-desakan dengan pengguna jalan lainnya. Hal ini sangat membahayakan keselamatan mereka.

Beberapa Titik Pedestrian Cukup Baik di Jakarta

Beberapa waktu yang lalu, Tim GRASS telah menelusuri beberapa titik pedestrian di wilayah DKI Jakarta. Sebagai bentuk keseimbangan dalam menilai kondisi fasilitas publik, alangkah bijak apabila kami pun menyajikan hal-hal yang sudah cukup baik, disamping kelemahan dan kekurangan sebagaimana telah kami uraikan pada artikel sebelumnya mengenai anomali pedestrian di wilayah DKI Jakarta.

Berikut kami sajikan beberapa foto lokasi pedestrian yang menurut penilaian Tim cukup baik, walaupun pada beberapa hal masih memerlukan pembenahan.

Pedestrian dengan pohon tertata rapi
Pedestrian di atas kami temukan di sisi ruas jalan Prof. Dr. Satrio. Kelebihan titik pedestrian ini menurut Tim adalah berupa trotoarnya yang luas, dilengkapi dengan pemandu tunanetra, terdapat pagar pelindung pejalan kaki yang menjadi pemisah dengan jalan raya, serta dilengkapi pohon peneduh yang tertata rapi.
Pedestrian dengan pohon peneduh dan lantai bersih
Keberadaan pohon peneduh yang tertata rapi ini sangat langka kita temukan pada pedestrian di DKI Jakarta. Pada banyak lokasi, pohon peneduh ditanam tak beraturan sehingga menghalangi mobilitas pejalan kaki. Selain itu, kondisi pedestrian yang selalu rapi dan bahan material yang baik (indah dipandang dan tidak licin) menjadi nilai tambah tersendiri.

Petugas kebersihan membersihkan pedestrian
Kebersihan yang selalu terjaga itu tidak terlepas dari peran petugas kebersihan yang setiap hari membersihkan lokasi tersebut. Ternyata pedestrian tersebut dikelola oleh pihak swasta pemilik gedung di sekitar pedestrian. 

Trotoar luas dan teduh
Masih di ruas jalan Prof. Dr. Satrio, terdapat pedestrian yang cukup nyaman untuk pejalan kaki, luas dan teduh. Lokasi tersebut tepatnya berada di depan Gedung Somerset.

Masyarakat berjalan dengan nyaman
Lokasi pedestrian lainnya yang sangat baik adalah di depan Ciputra Mall. Desainnya yang artistik dipadukan dengan bahan yang cukup baik menjadikan pedestrian tersebut nyamam dilewati. Sayangnya disana tidak terdapat pohon peneduh sehingga apabila siang hari keadaannya cukup panas.

Di depan Ciputra

Dalam menyediakan fasilitas pejalan kaki selain memerhatikan unsur kontruksi dan artistik, juga harus mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan penggunanya. Pohon peneduh merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan untuk menyuguhkan keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki pada pedestrian di Jakarta mengingat kondisi panas di Jakarta sudah sedemikian tingginya. 

Sabtu, 28 Januari 2017

Bentuk-bentuk Anomali Pedestrian di DKI Jakarta (Bagian II)

Pada artikel sebelumnya kami telah membahas mengenai bentuk-bentuk anomali pedestrian di DKI Jakarta Bagian I. Pada Bagian I tersebut telah dipaparkan tiga anomali yang ditemukan Tim GRASS yaitu tiang penghalau pemotor, ketiadaan ramp dan galian-galian rutin. Nah, pada pembahasan kali ini kami akan melanjutkan pada anomali lainnya yang kami temukan. Pembahasannya adalah sebagai berikut.

4. Trotoar penuh tiang
Trotoar penuh tiang
Cobalah perhatikan gambar di atas, ada berapa banyak tiang yang berdiri di trotoar? Jumlah tersebut cukup banyak bukan? Hampir menutupi seluruh ruang trotoar sehingga aksesibilitas pejalan kaki dapat terganggu.

Keberadaan tiang-tiang itu tidak terlepas dari kepentingan banyak pihak terhadap penggunaan ruang milik jalan. Pada gambar di atas kita dapat melihat ada tiang telepon, tiang listrik, tiang lampu lalu lintas, dan beberapa tiang utilitas lainnya. Pengaturan dan pengawasan implementasi aturan yang belum baik berkontribusi banyak terhadap kesemerawutan tersebut. Ditambah lagi dengan koordinasi yang belum baik antara pemerintah dengan pihak swasta atau BUMN pemilik utilitas, menjadikan permasalahan ini tak kunjung terselesaikan.

5. Kabel optik mencuat

Kabel optik
Sebenarnya aturan mengenai penimbunan atau penyimpanan kabel optik di ruang milik jalan telah ada aturannya. Kabel optik hanya bisa ditimbun dalam kedalaman tertentu di bawah tanah. Hal ini untuk menghindari bahaya terhadap keamanan kabel itu sendiri (untuk kelangsungan fungsinya) dan menghindari bahaya bagi pengguna jalan dan trotoar.

Kenyataannya di Jakarta, banyak timbunan kabel yang dilakukan seenaknya. Pekerjaan yang dilakukan asal jadi ini seolah-olah menjadi hal yang lumrah. Parahnya, pihak berwenang yang memberikan izin penimbunan kepada pihak pemilik kabel tidak melakukan pengawasan yang memadai. Alhasil, seringkali kabel optik mencuat di atas tanah, terinjak-injak oleh kendaraan maupun manusia, yang pada akhirnya membahayakan fungsi kabel itu sendiri maupun orang-orang yang melintasinya.

6. Drainase Menganga

Drainase terbuka
Cobalah perhatikan gambar di atas, drainase di samping pedestrian yang jelek itu begitu kotor airnya. Kondisinya dibiarkan terbuka begitu saja. Tidak ada penutup pada drainase itu, yang menyebabkan bentuknya maupun bau airnya dapat terhirup dengan mudah. Menjijikan dan mengkhawatirkan bukan?

Lubang di tengah pedestrian
Betapa membahayakannya keadaan ini terhadap keselamatan para pejalan kaki, baik dalam keadaan normal apalagi dalam keadaan hujan, gelap, dll. Sangat disayangkan keadaan seperti ini terjadi di DKI Jakarta yang mengklaim diri sebagai Smart City.

Bersambung...

Bentuk-bentuk Anomali Pedestrian di DKI Jakarta (Bagian I)

Melengkapi artikel-artikel sebelumnya mengenai pedestrian, kali ini kami akan menyajikan pembahasan mengenai bentuk-bentuk anomali pada prasarana dan sarana pedestrian. Tim GRASS telah melakukan observasi lapangan pada beberapa lokasi pedestrian di wilayah DKI Jakarta dan menemukan hal-hal yang bersifat anomali tersebut.

Hal-hal anomali yang dimaksud menurut penilaian Tim Observasi telah menyebabkan fungsi pedestrian tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya serta merugikan pejalan kaki. Kerugian tersebut beraneka ragam, mulai dari kenyamanan, aksesisbilitas hingga keamanan. Berikut kami tampilkan beberapa bentuk anomali prasarana dan sarana pedestrian yang ditemukan Tim GRASS di wilayah Kota Jakarta.

1. Tiang-tiang Penghalau Sepeda Motor


Tiang-tiang penghalau sepeda motor
Jumlah kendaraan bermotor yang semakin hari semakin banyak menuntut peningkatan infrastruktur jalan. Namun hal itu tidak bisa dipenuhi, akibatnya kemacetan seperti yang terjadi di Ibu Kota menjadi 'makanan' sehari-hari pengendara. Alhasil, pengendara sepeda motor yang kesadaran sosial dan kesadaran hukumnya kurang, biasanya akan mengambil jalan pintas dengan menerebos trotoar yang sebenarnya menjadi hak pejalan kaki.

Pemerintah DKI Jakarta pada masa Gubernur Joko Widodo mengambil langkah kebijakan untuk mengatasi penyerobotan trotoar oleh para pengendara sepeda motor ini. Caranya dengan membuat patok-patok atau tiang pada setiap gerbang gedung seperti terlihat pada gambar di atas. Kerapatannya diatur sehingga orang masih bisa melewatinya namun sepeda motor tidak dapat melewatinya. Hal ini dilakukan pada beberapa ruas jalan, terutama di area-area vital seperti Jl. Sudirman, Jl. Thamrin dan Jl. Rasuna Said (Kuningan).

Tiang besi di trotoar Jl. Sudirman Jakarta
Sepintas kebijakan ini sangat baik karena terbukti dapat menghalau para pemotor yang sering memyerobot masuk trotoar. Namun tanpa disadari keberadaan patok-patok ini telah menghambat mobilitas pejalan kaki itu sendiri. Pengguna kursi roda termasuk salah satu pihak yang sangat dirugikan oleh kebijakan ini karena celah antara tiang yang cukup sempit, kursi roda tidak mungkin dapat melewatinya.

2. Tanpa Ramp

Trotoar tanpa ramp
Sudah menjadi hal lumrah yang sering kita lihat pada trotoar-trotoar di seluruh Indonesia, dimana bentuknya dibuat agak tinggi sekitar 15 cm diatas jalan raya. Hal ini sangat wajar dengan pertimbangan untuk memperlihatkan batas antara jalan dan trotoar. Sisi-sisi trotoar tersebut biasanya dibatasi dengan menggunakan kurb yang bentuknya kotak persegi panjang dengan ketinggian sesuai dengan ketinggian trotoar itu.

Sepintas tidak ada yang salah dengan bentuk trotoar yang demikian karena merupakan sebuah upaya menjaga keselamatan pejalan kaki dari jangkauannya roda kendaraan (karena letaknya lebih tinggi) dan membuat trotoar tersebut terlihat lebih rapi. Namun, dilihat dari sudut pandang keberpihakan sosial khususnya terhadap penyandang disabilitas, bentuk fisik trotoar seperti ini kurang ramah. Dapat dibayangkan betapa kesulitan pengguna kursi roda atau tunanetra manakala harus melewati suatu trotoar yang memiliki bidang ketinggian yang berbeda dengan bidang sekitarnya dengan titik perubahan ketinggian yang tiba-tiba.

Pedestrian di Jl. Rasuna Said Kuningan

Maka, upaya bijak yang dapat dilakukan adalah dengan membuat bidang miring pada sisi-sisi trotoar tersebut. Itulah yang dinamakan ramp. Dengan adanya ramp, pengguna kursi roda akan lebih mudah menaiki bidang trotoar. Begitu pula penyandang tunanetra akan lebih mudah menyusuri perbedaan ketinggian bidang tersebut.

3. Galian-galian Rutin

Galian pipa air bersih milik salah satu PAM
Salah satu anomali yang sering ditemukan pada jalur pedestrian di wilayah DKI Jakarta adalah galian-galian. Galian tersebut biasanya bersifat rutin dalam beberapa bulan sekali atau beberapa tahun sekali. Ketika dilakukan galian biasanya dibuat semacam bedeng yang terbuat dari kain plastik spanduk. Otomatis bedeng terbentuk segi empat ini menutupi jalur pedestrian dan mengganggu lalu lintas pejalan kaki.

Galian-galian yang biasanya ditemukan adalah galian milik perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang listrik, telekomunikasi, pengelolaan air limbah, maupun penyaluran air bersih. Properti yang ditanam di bawah pedestrian biasanya berupa pipa, kabel optik, atau benda lain yang berhubungan dengan jenis usaha pihak swasta itu. Perusahaan air minum misalnya, menanam pipa cukup besar di bawah jalur trotoar sehingga apabila terdapat kerusakan pada pipa atau ketika hendak melakukan pemeriksaan rutin, bidang pedestrian tersebut harus digali. Parahnya, bekas galian itu pun biasanya tidak dikembalikan bentuknya secara utuh seperti sedia kala melainkan hanya ditimbun begitu saja dengan tanah merah. Alhasil, pejalan kaki dirugikan untuk kesekian kakinya. 

Galian menutupi pedestrian
Kondisi yang terus berlanjut seperti ini sangat disayangkan. Pemerintah DKI Jakarta semestinya segera menyiapkan infrastruktur bagi pipa-pipa dan kabel-kabel bawah tanah agar galian-galian rutin pada pedestrian tidak berlanjut terus menerus. Perempatan box culvert dapat menjadi solusi terhadap hal ini, dimana pihak swasta yang hendak menyimpan propertinya di bawah tanah tidak perlu menggali (baca:merusak) pedestrian, namun cukup mengikuti jalur box culvert yang tersedia. Adapun titik kontrol dapat mengikuti titik kontrol setiap sekian meter sebagaimana disediakan. Apabila hal ini dapat ditempuh, maka kerusakan berulang pada pedestrian khususnya trotoar akibat aktivitas galian tidak akan terjadi lagi...

Bersambung.....

Rabu, 25 Januari 2017

Pedestrian dan Revolusi Mental

Akhir-akhir ini, kita sering mendengar istilah Revolusi Mental. Istilah tersebut mulai ramai ketika Presiden Jokowi mulai menjabat sebagai Presiden RI. Sebagaimana dapat dikutip dari www.revolusimental.go.id bahwa: "Revolusi mental bermula dari ajakan Presiden Jokowi sebagai pemimpin bangsa Indonesia untuk mengangkat kembali karakter bangsa yang telah mengalami kemerosotan dengan secepat-cepatnya dan bersama-sama (revolusioner). Karena itu Revolusi Mental mula-mula digerakkan oleh Presiden dan didukung oleh suatu konsorium yang terdiri dari para tokoh nasional (birokrasi pemerintah, dunia usaha, tokoh agama, akademisi, seniman, budayawan, dan masih banyak lagi)..."

Apa itu Revolusi Mental?
Revolusi Mental terdiri dari dua kara yaitu "Revolusi" dan "Mental". Revolusi berasal dari Bahasa Latin "revolutio" yang berarti berputar arah. Revolusi adalah perubahan fundamental (mendasar) dalam struktur kekuatan atau organisasi yang terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat. Kata kuncinya "perubahan" dan "waktu singkat". Sedangkan "mental" atau tepatnya "mentalitas" adalah cara berfikir atau kemampuan atau berfikir, belajar dan merespon terhadap suatu situasi atau kondisi. Jadi, Revolusi Mental dapat diartikan sebagai perubahan yang relatif cepat dalam cara berfikir. (http://revo-mental.blogspot.co.id/2014/07/pengertian-revolusi-mental.html)

Revolusi Mental sebagaimana digaungkan oleh Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, memiliki beberapa nilai strategis, sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut ini. 
Sumber: capture tampilan www.revolusimental.go.id

Apa kaitan antara pedestrian dengan Revolusi Mental?
Untuk diketahui GRASS tengah fokus terhadap kebijakan publik dan pelayanan barang publik pedestrian. Sebagaimana telah dibahas pada posting www.grassuntukmasyarakat.blogspot.com edisi 22 Januari 2017 berjudul "Kondisi Faktual Fasilitas Publik Pedestrian". Ternyata setelah dikaji, pedestrian memiliki keterkaitan dengan konsep Revolusi Mental. Selengkapnya dapat pembaca lihat tampilan capture website resmi Revolusi Mental berikut.

Sumber: capture tampilan www.revolusimental.go.id
Indonesia yang ramah terhadap pejalan kaki merupakan salah satu aksi Revolusi Mental. Hal ini sangat dipahami karena selama ini dalam mentalitas sosial ekonomi masyarakat kita, lebih senang untuk berlomba-lomba membeli kendaraan. Sudah punya satu motor, ingin dua. Punya dua motor, ingin tiga. Setelah punya motor ingin punya mobil. Mentalitas ini mengakibatkan kenaikan jumlah kepemilikan kendaraan bermotor sangat tinggi dan tidak sebanding dengan kenaikan kuantitas infrastruktur jalan. Akhirnya yang terjadi adalah kemacetan dimana-mana.

Berjalan kaki sangat pantas menjadi bagian dari Revolusi Mental, karena selain dapat menjadikan badan sehat juga berdampak terhadap sosial dan ekonomi. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, berjalan kaki akan erat kaitannya dengan penggunaan kendaraan umum. Artinya, keuntungan yang akan diperoleh secara sosial, salah satunya orang akan lebih bersosialisasi dengan orang lainnya manakala bisa bertegur sapa ketika berjalan bersama atau berpapasan atau apabila duduk bersama di kendaraan umum. Hal ini tentu saja tidak dapat dilakukan manakala masing-masing orang membawa kendaraan pribadi. Jika masing-masing membawa kendaraan dan berpapasan lalu ingin saling menyapa tentu bahaya yang akan didapat. Hal ini sangat penting karena interaksi sosial yang semakin baik dapat melahirkan masyarakat yang semakin peduli terhadap sesama, bahkan mempekuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam sisi ekonomi, berjalan kaki merupakan salah satu upaya penghematan energi. Lebih hemat energi yang terpakai, lebih sedikit beban subsidi yang harus ditanggung oleh keuangan negara. Artinya, anggaran tersebut dapat dialihkan kepada sektor-sektor pembangunan lain demi pelayanan publik yang semakin baik untuk masyarakat.


Dengan demikian, sudah saatnya kita ikut berpartisipasi mewujudkan Revolusi Mental: mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang terkecil, dan mulai saat ini. Untuk memahaminya lebih lanjut, silakan buka www.revolusimental.go.id.

Senin, 23 Januari 2017

Poster-Poster Keren Layanan Publik

Sebagai warga negara, kita dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk memperoleh layanan publik. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pemerintah menjamin setiap warga negara memperoleh pelayanan publik yang berkualitas dan sesuai standar sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun pada kenyataannya, pelayanan publik yang ada belum sebaik yang diharapkan. Keberadaan Ombudsman RI sebagai Lemabaga Negara Pengawas Pelayanan Publik kita harapkan dapat menjadi motor penggerak layanan publik segera beranjak menjadi pelayanan yang berkualitas. Berikut beberapa poster layanan publik yang bersumber dari www.ombudsman.go.id yang mengajak kita semua untuk sadar dan peduli terhadap pelayanan publik.

Mengurai benang kusut
Birokrasi yang semerawut layak segulung benang yang kusut dan karena kekusutannya dapat menjadikan urusan pelayanan menjadi ribet, berbelit-belit dan melilit-lilit. Kondisi ini 'ga enak macam kita lagi sakit perut, melilit-lilit...

Birokrasi ga OK
Birokrasi yang hingga saat ini belum menunjukkan kinerja yang OK menjadikan masyarakat terus menerus ada dalam kondisi tertekan, bukannya dilayani malah dipaksa melayani. Kalau begini terus, bisa-bisa rakyat menjadi KO karena tidak berdaya menghadapi birokrasi. Ayo lawan dengan melaporkannya kepada Ombudsman atau instansi lain yang berwenang.

Jangan ada kerumitan
"Jangan ada dusta di antara kita", begitu syair sebuah lagu. Dalam pelayanan publik, hal yang lazim ditemukan adalah kerumitan. Maka dari itu, mulai saat ini mari kita dorong penyelenggara pelayanan publik agar tidak memperumit urusan pelayanan. Katakan pada mereka: "Jangan ada kerumitan di antara kita".

Birokrasi sedang dalam perbaikan
Birokrasi yang masih belum efektif ini harus segera dilakukan perbaikan. Saat ini Pemerintah sedang terus menggaungkan Reformasi Birokrasi, walaupun hasilnya belum benar-benar terlihat. Sebagai masyarakat kita terus mendorong agar birokrasi dapat berjalan semakin baik, semakin sederhana, dan paling utama adalah melayani dengan hati.

Urusan Gampang Jangan Jadi Ribet

Birokrasi yang belum efektif seolah-olah sudah menggurita dalam semua sektor pelayanan publik. Kalau sudah begitu, urusan yang gampang saja bisa menjadi rumit serumit-rumitnya. Kalau kamu menemui hal yang demikian, jangan segan, laporkan kepada instansi yang berwenang melalui GRASS atau langsung ke Ombudsman Republik Indonesia. Laporkan, untuk pelayanan publik yang lebih baik....