Selasa, 31 Januari 2017

Fakta Pedestrian DKI Jakarta Belum Ramah Pengguna Kursi Roda

Pedestrian atau sarana dan prasarana untuk pengguna pejalan kaki, sejatinya adalah barang publik. Karena kedudukannya sebagai barang publik maka prasarana dan sarana pejalan kaki tersebut harus bisa memenuhi kebutuhan seluruh warga masyarakat: tua, muda, laki-laki, perempuan, pegawai, karyawan, termasuk penyandang disabilitas.

Permasalahan yang dapat ditemukan dengan mudah pada prasarana dan sarana pedestrian di Indonesia, salah satunya adalah terkait ketersediaan fasilitas khusus bagi orang berkebutuhan khusus dan atau penyandang disabilitas. Hal itu dapat pembaca cermati pada video di bawah ini. Video ini kami ambil di salah satu ruas jalan di daerah Jakarta Timur.


Pada video di atas dapat kita lihat betapa kesulitannya seorang pengguna kursi roda ketika hendak melewati pedestrian. Hal ini dikarenakan pedestrian dalam hal ini trotoar yang disediakan belum ramah terhadap pejalan kaki, khususnya pengguna kursi roda. Akhirnya pengguna kursi roda lebih memilih untuk berjalan di badan jalan raya dengan berdesak-desakan dengan pengguna jalan lainnya. Hal ini sangat membahayakan keselamatan mereka.

Beberapa Titik Pedestrian Cukup Baik di Jakarta

Beberapa waktu yang lalu, Tim GRASS telah menelusuri beberapa titik pedestrian di wilayah DKI Jakarta. Sebagai bentuk keseimbangan dalam menilai kondisi fasilitas publik, alangkah bijak apabila kami pun menyajikan hal-hal yang sudah cukup baik, disamping kelemahan dan kekurangan sebagaimana telah kami uraikan pada artikel sebelumnya mengenai anomali pedestrian di wilayah DKI Jakarta.

Berikut kami sajikan beberapa foto lokasi pedestrian yang menurut penilaian Tim cukup baik, walaupun pada beberapa hal masih memerlukan pembenahan.

Pedestrian dengan pohon tertata rapi
Pedestrian di atas kami temukan di sisi ruas jalan Prof. Dr. Satrio. Kelebihan titik pedestrian ini menurut Tim adalah berupa trotoarnya yang luas, dilengkapi dengan pemandu tunanetra, terdapat pagar pelindung pejalan kaki yang menjadi pemisah dengan jalan raya, serta dilengkapi pohon peneduh yang tertata rapi.
Pedestrian dengan pohon peneduh dan lantai bersih
Keberadaan pohon peneduh yang tertata rapi ini sangat langka kita temukan pada pedestrian di DKI Jakarta. Pada banyak lokasi, pohon peneduh ditanam tak beraturan sehingga menghalangi mobilitas pejalan kaki. Selain itu, kondisi pedestrian yang selalu rapi dan bahan material yang baik (indah dipandang dan tidak licin) menjadi nilai tambah tersendiri.

Petugas kebersihan membersihkan pedestrian
Kebersihan yang selalu terjaga itu tidak terlepas dari peran petugas kebersihan yang setiap hari membersihkan lokasi tersebut. Ternyata pedestrian tersebut dikelola oleh pihak swasta pemilik gedung di sekitar pedestrian. 

Trotoar luas dan teduh
Masih di ruas jalan Prof. Dr. Satrio, terdapat pedestrian yang cukup nyaman untuk pejalan kaki, luas dan teduh. Lokasi tersebut tepatnya berada di depan Gedung Somerset.

Masyarakat berjalan dengan nyaman
Lokasi pedestrian lainnya yang sangat baik adalah di depan Ciputra Mall. Desainnya yang artistik dipadukan dengan bahan yang cukup baik menjadikan pedestrian tersebut nyamam dilewati. Sayangnya disana tidak terdapat pohon peneduh sehingga apabila siang hari keadaannya cukup panas.

Di depan Ciputra

Dalam menyediakan fasilitas pejalan kaki selain memerhatikan unsur kontruksi dan artistik, juga harus mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan penggunanya. Pohon peneduh merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan untuk menyuguhkan keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki pada pedestrian di Jakarta mengingat kondisi panas di Jakarta sudah sedemikian tingginya. 

Sabtu, 28 Januari 2017

Bentuk-bentuk Anomali Pedestrian di DKI Jakarta (Bagian II)

Pada artikel sebelumnya kami telah membahas mengenai bentuk-bentuk anomali pedestrian di DKI Jakarta Bagian I. Pada Bagian I tersebut telah dipaparkan tiga anomali yang ditemukan Tim GRASS yaitu tiang penghalau pemotor, ketiadaan ramp dan galian-galian rutin. Nah, pada pembahasan kali ini kami akan melanjutkan pada anomali lainnya yang kami temukan. Pembahasannya adalah sebagai berikut.

4. Trotoar penuh tiang
Trotoar penuh tiang
Cobalah perhatikan gambar di atas, ada berapa banyak tiang yang berdiri di trotoar? Jumlah tersebut cukup banyak bukan? Hampir menutupi seluruh ruang trotoar sehingga aksesibilitas pejalan kaki dapat terganggu.

Keberadaan tiang-tiang itu tidak terlepas dari kepentingan banyak pihak terhadap penggunaan ruang milik jalan. Pada gambar di atas kita dapat melihat ada tiang telepon, tiang listrik, tiang lampu lalu lintas, dan beberapa tiang utilitas lainnya. Pengaturan dan pengawasan implementasi aturan yang belum baik berkontribusi banyak terhadap kesemerawutan tersebut. Ditambah lagi dengan koordinasi yang belum baik antara pemerintah dengan pihak swasta atau BUMN pemilik utilitas, menjadikan permasalahan ini tak kunjung terselesaikan.

5. Kabel optik mencuat

Kabel optik
Sebenarnya aturan mengenai penimbunan atau penyimpanan kabel optik di ruang milik jalan telah ada aturannya. Kabel optik hanya bisa ditimbun dalam kedalaman tertentu di bawah tanah. Hal ini untuk menghindari bahaya terhadap keamanan kabel itu sendiri (untuk kelangsungan fungsinya) dan menghindari bahaya bagi pengguna jalan dan trotoar.

Kenyataannya di Jakarta, banyak timbunan kabel yang dilakukan seenaknya. Pekerjaan yang dilakukan asal jadi ini seolah-olah menjadi hal yang lumrah. Parahnya, pihak berwenang yang memberikan izin penimbunan kepada pihak pemilik kabel tidak melakukan pengawasan yang memadai. Alhasil, seringkali kabel optik mencuat di atas tanah, terinjak-injak oleh kendaraan maupun manusia, yang pada akhirnya membahayakan fungsi kabel itu sendiri maupun orang-orang yang melintasinya.

6. Drainase Menganga

Drainase terbuka
Cobalah perhatikan gambar di atas, drainase di samping pedestrian yang jelek itu begitu kotor airnya. Kondisinya dibiarkan terbuka begitu saja. Tidak ada penutup pada drainase itu, yang menyebabkan bentuknya maupun bau airnya dapat terhirup dengan mudah. Menjijikan dan mengkhawatirkan bukan?

Lubang di tengah pedestrian
Betapa membahayakannya keadaan ini terhadap keselamatan para pejalan kaki, baik dalam keadaan normal apalagi dalam keadaan hujan, gelap, dll. Sangat disayangkan keadaan seperti ini terjadi di DKI Jakarta yang mengklaim diri sebagai Smart City.

Bersambung...

Bentuk-bentuk Anomali Pedestrian di DKI Jakarta (Bagian I)

Melengkapi artikel-artikel sebelumnya mengenai pedestrian, kali ini kami akan menyajikan pembahasan mengenai bentuk-bentuk anomali pada prasarana dan sarana pedestrian. Tim GRASS telah melakukan observasi lapangan pada beberapa lokasi pedestrian di wilayah DKI Jakarta dan menemukan hal-hal yang bersifat anomali tersebut.

Hal-hal anomali yang dimaksud menurut penilaian Tim Observasi telah menyebabkan fungsi pedestrian tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya serta merugikan pejalan kaki. Kerugian tersebut beraneka ragam, mulai dari kenyamanan, aksesisbilitas hingga keamanan. Berikut kami tampilkan beberapa bentuk anomali prasarana dan sarana pedestrian yang ditemukan Tim GRASS di wilayah Kota Jakarta.

1. Tiang-tiang Penghalau Sepeda Motor


Tiang-tiang penghalau sepeda motor
Jumlah kendaraan bermotor yang semakin hari semakin banyak menuntut peningkatan infrastruktur jalan. Namun hal itu tidak bisa dipenuhi, akibatnya kemacetan seperti yang terjadi di Ibu Kota menjadi 'makanan' sehari-hari pengendara. Alhasil, pengendara sepeda motor yang kesadaran sosial dan kesadaran hukumnya kurang, biasanya akan mengambil jalan pintas dengan menerebos trotoar yang sebenarnya menjadi hak pejalan kaki.

Pemerintah DKI Jakarta pada masa Gubernur Joko Widodo mengambil langkah kebijakan untuk mengatasi penyerobotan trotoar oleh para pengendara sepeda motor ini. Caranya dengan membuat patok-patok atau tiang pada setiap gerbang gedung seperti terlihat pada gambar di atas. Kerapatannya diatur sehingga orang masih bisa melewatinya namun sepeda motor tidak dapat melewatinya. Hal ini dilakukan pada beberapa ruas jalan, terutama di area-area vital seperti Jl. Sudirman, Jl. Thamrin dan Jl. Rasuna Said (Kuningan).

Tiang besi di trotoar Jl. Sudirman Jakarta
Sepintas kebijakan ini sangat baik karena terbukti dapat menghalau para pemotor yang sering memyerobot masuk trotoar. Namun tanpa disadari keberadaan patok-patok ini telah menghambat mobilitas pejalan kaki itu sendiri. Pengguna kursi roda termasuk salah satu pihak yang sangat dirugikan oleh kebijakan ini karena celah antara tiang yang cukup sempit, kursi roda tidak mungkin dapat melewatinya.

2. Tanpa Ramp

Trotoar tanpa ramp
Sudah menjadi hal lumrah yang sering kita lihat pada trotoar-trotoar di seluruh Indonesia, dimana bentuknya dibuat agak tinggi sekitar 15 cm diatas jalan raya. Hal ini sangat wajar dengan pertimbangan untuk memperlihatkan batas antara jalan dan trotoar. Sisi-sisi trotoar tersebut biasanya dibatasi dengan menggunakan kurb yang bentuknya kotak persegi panjang dengan ketinggian sesuai dengan ketinggian trotoar itu.

Sepintas tidak ada yang salah dengan bentuk trotoar yang demikian karena merupakan sebuah upaya menjaga keselamatan pejalan kaki dari jangkauannya roda kendaraan (karena letaknya lebih tinggi) dan membuat trotoar tersebut terlihat lebih rapi. Namun, dilihat dari sudut pandang keberpihakan sosial khususnya terhadap penyandang disabilitas, bentuk fisik trotoar seperti ini kurang ramah. Dapat dibayangkan betapa kesulitan pengguna kursi roda atau tunanetra manakala harus melewati suatu trotoar yang memiliki bidang ketinggian yang berbeda dengan bidang sekitarnya dengan titik perubahan ketinggian yang tiba-tiba.

Pedestrian di Jl. Rasuna Said Kuningan

Maka, upaya bijak yang dapat dilakukan adalah dengan membuat bidang miring pada sisi-sisi trotoar tersebut. Itulah yang dinamakan ramp. Dengan adanya ramp, pengguna kursi roda akan lebih mudah menaiki bidang trotoar. Begitu pula penyandang tunanetra akan lebih mudah menyusuri perbedaan ketinggian bidang tersebut.

3. Galian-galian Rutin

Galian pipa air bersih milik salah satu PAM
Salah satu anomali yang sering ditemukan pada jalur pedestrian di wilayah DKI Jakarta adalah galian-galian. Galian tersebut biasanya bersifat rutin dalam beberapa bulan sekali atau beberapa tahun sekali. Ketika dilakukan galian biasanya dibuat semacam bedeng yang terbuat dari kain plastik spanduk. Otomatis bedeng terbentuk segi empat ini menutupi jalur pedestrian dan mengganggu lalu lintas pejalan kaki.

Galian-galian yang biasanya ditemukan adalah galian milik perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang listrik, telekomunikasi, pengelolaan air limbah, maupun penyaluran air bersih. Properti yang ditanam di bawah pedestrian biasanya berupa pipa, kabel optik, atau benda lain yang berhubungan dengan jenis usaha pihak swasta itu. Perusahaan air minum misalnya, menanam pipa cukup besar di bawah jalur trotoar sehingga apabila terdapat kerusakan pada pipa atau ketika hendak melakukan pemeriksaan rutin, bidang pedestrian tersebut harus digali. Parahnya, bekas galian itu pun biasanya tidak dikembalikan bentuknya secara utuh seperti sedia kala melainkan hanya ditimbun begitu saja dengan tanah merah. Alhasil, pejalan kaki dirugikan untuk kesekian kakinya. 

Galian menutupi pedestrian
Kondisi yang terus berlanjut seperti ini sangat disayangkan. Pemerintah DKI Jakarta semestinya segera menyiapkan infrastruktur bagi pipa-pipa dan kabel-kabel bawah tanah agar galian-galian rutin pada pedestrian tidak berlanjut terus menerus. Perempatan box culvert dapat menjadi solusi terhadap hal ini, dimana pihak swasta yang hendak menyimpan propertinya di bawah tanah tidak perlu menggali (baca:merusak) pedestrian, namun cukup mengikuti jalur box culvert yang tersedia. Adapun titik kontrol dapat mengikuti titik kontrol setiap sekian meter sebagaimana disediakan. Apabila hal ini dapat ditempuh, maka kerusakan berulang pada pedestrian khususnya trotoar akibat aktivitas galian tidak akan terjadi lagi...

Bersambung.....

Rabu, 25 Januari 2017

Pedestrian dan Revolusi Mental

Akhir-akhir ini, kita sering mendengar istilah Revolusi Mental. Istilah tersebut mulai ramai ketika Presiden Jokowi mulai menjabat sebagai Presiden RI. Sebagaimana dapat dikutip dari www.revolusimental.go.id bahwa: "Revolusi mental bermula dari ajakan Presiden Jokowi sebagai pemimpin bangsa Indonesia untuk mengangkat kembali karakter bangsa yang telah mengalami kemerosotan dengan secepat-cepatnya dan bersama-sama (revolusioner). Karena itu Revolusi Mental mula-mula digerakkan oleh Presiden dan didukung oleh suatu konsorium yang terdiri dari para tokoh nasional (birokrasi pemerintah, dunia usaha, tokoh agama, akademisi, seniman, budayawan, dan masih banyak lagi)..."

Apa itu Revolusi Mental?
Revolusi Mental terdiri dari dua kara yaitu "Revolusi" dan "Mental". Revolusi berasal dari Bahasa Latin "revolutio" yang berarti berputar arah. Revolusi adalah perubahan fundamental (mendasar) dalam struktur kekuatan atau organisasi yang terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat. Kata kuncinya "perubahan" dan "waktu singkat". Sedangkan "mental" atau tepatnya "mentalitas" adalah cara berfikir atau kemampuan atau berfikir, belajar dan merespon terhadap suatu situasi atau kondisi. Jadi, Revolusi Mental dapat diartikan sebagai perubahan yang relatif cepat dalam cara berfikir. (http://revo-mental.blogspot.co.id/2014/07/pengertian-revolusi-mental.html)

Revolusi Mental sebagaimana digaungkan oleh Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, memiliki beberapa nilai strategis, sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut ini. 
Sumber: capture tampilan www.revolusimental.go.id

Apa kaitan antara pedestrian dengan Revolusi Mental?
Untuk diketahui GRASS tengah fokus terhadap kebijakan publik dan pelayanan barang publik pedestrian. Sebagaimana telah dibahas pada posting www.grassuntukmasyarakat.blogspot.com edisi 22 Januari 2017 berjudul "Kondisi Faktual Fasilitas Publik Pedestrian". Ternyata setelah dikaji, pedestrian memiliki keterkaitan dengan konsep Revolusi Mental. Selengkapnya dapat pembaca lihat tampilan capture website resmi Revolusi Mental berikut.

Sumber: capture tampilan www.revolusimental.go.id
Indonesia yang ramah terhadap pejalan kaki merupakan salah satu aksi Revolusi Mental. Hal ini sangat dipahami karena selama ini dalam mentalitas sosial ekonomi masyarakat kita, lebih senang untuk berlomba-lomba membeli kendaraan. Sudah punya satu motor, ingin dua. Punya dua motor, ingin tiga. Setelah punya motor ingin punya mobil. Mentalitas ini mengakibatkan kenaikan jumlah kepemilikan kendaraan bermotor sangat tinggi dan tidak sebanding dengan kenaikan kuantitas infrastruktur jalan. Akhirnya yang terjadi adalah kemacetan dimana-mana.

Berjalan kaki sangat pantas menjadi bagian dari Revolusi Mental, karena selain dapat menjadikan badan sehat juga berdampak terhadap sosial dan ekonomi. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, berjalan kaki akan erat kaitannya dengan penggunaan kendaraan umum. Artinya, keuntungan yang akan diperoleh secara sosial, salah satunya orang akan lebih bersosialisasi dengan orang lainnya manakala bisa bertegur sapa ketika berjalan bersama atau berpapasan atau apabila duduk bersama di kendaraan umum. Hal ini tentu saja tidak dapat dilakukan manakala masing-masing orang membawa kendaraan pribadi. Jika masing-masing membawa kendaraan dan berpapasan lalu ingin saling menyapa tentu bahaya yang akan didapat. Hal ini sangat penting karena interaksi sosial yang semakin baik dapat melahirkan masyarakat yang semakin peduli terhadap sesama, bahkan mempekuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam sisi ekonomi, berjalan kaki merupakan salah satu upaya penghematan energi. Lebih hemat energi yang terpakai, lebih sedikit beban subsidi yang harus ditanggung oleh keuangan negara. Artinya, anggaran tersebut dapat dialihkan kepada sektor-sektor pembangunan lain demi pelayanan publik yang semakin baik untuk masyarakat.


Dengan demikian, sudah saatnya kita ikut berpartisipasi mewujudkan Revolusi Mental: mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang terkecil, dan mulai saat ini. Untuk memahaminya lebih lanjut, silakan buka www.revolusimental.go.id.

Senin, 23 Januari 2017

Poster-Poster Keren Layanan Publik

Sebagai warga negara, kita dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk memperoleh layanan publik. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pemerintah menjamin setiap warga negara memperoleh pelayanan publik yang berkualitas dan sesuai standar sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun pada kenyataannya, pelayanan publik yang ada belum sebaik yang diharapkan. Keberadaan Ombudsman RI sebagai Lemabaga Negara Pengawas Pelayanan Publik kita harapkan dapat menjadi motor penggerak layanan publik segera beranjak menjadi pelayanan yang berkualitas. Berikut beberapa poster layanan publik yang bersumber dari www.ombudsman.go.id yang mengajak kita semua untuk sadar dan peduli terhadap pelayanan publik.

Mengurai benang kusut
Birokrasi yang semerawut layak segulung benang yang kusut dan karena kekusutannya dapat menjadikan urusan pelayanan menjadi ribet, berbelit-belit dan melilit-lilit. Kondisi ini 'ga enak macam kita lagi sakit perut, melilit-lilit...

Birokrasi ga OK
Birokrasi yang hingga saat ini belum menunjukkan kinerja yang OK menjadikan masyarakat terus menerus ada dalam kondisi tertekan, bukannya dilayani malah dipaksa melayani. Kalau begini terus, bisa-bisa rakyat menjadi KO karena tidak berdaya menghadapi birokrasi. Ayo lawan dengan melaporkannya kepada Ombudsman atau instansi lain yang berwenang.

Jangan ada kerumitan
"Jangan ada dusta di antara kita", begitu syair sebuah lagu. Dalam pelayanan publik, hal yang lazim ditemukan adalah kerumitan. Maka dari itu, mulai saat ini mari kita dorong penyelenggara pelayanan publik agar tidak memperumit urusan pelayanan. Katakan pada mereka: "Jangan ada kerumitan di antara kita".

Birokrasi sedang dalam perbaikan
Birokrasi yang masih belum efektif ini harus segera dilakukan perbaikan. Saat ini Pemerintah sedang terus menggaungkan Reformasi Birokrasi, walaupun hasilnya belum benar-benar terlihat. Sebagai masyarakat kita terus mendorong agar birokrasi dapat berjalan semakin baik, semakin sederhana, dan paling utama adalah melayani dengan hati.

Urusan Gampang Jangan Jadi Ribet

Birokrasi yang belum efektif seolah-olah sudah menggurita dalam semua sektor pelayanan publik. Kalau sudah begitu, urusan yang gampang saja bisa menjadi rumit serumit-rumitnya. Kalau kamu menemui hal yang demikian, jangan segan, laporkan kepada instansi yang berwenang melalui GRASS atau langsung ke Ombudsman Republik Indonesia. Laporkan, untuk pelayanan publik yang lebih baik....

Minggu, 22 Januari 2017

Kondisi Faktual Fasilitas Publik Pedestrian

Dalam menjalani aktivitas sosial ekonomi saat ini, masyarakat tidak dapat terlepas dari dukungan infrastruktur. Petani yang hendak menggarap sawah memerlukan air yang cukup. Buruh yang hendak berangkat ke pabrik memerlukan sarana transportasi yang memadai dan ditunjang infrastruktur jalan yang layak. Salah satu infrastruktur lainnya yang sangat diperlukan khususnya untuk menunjang aktivitas publik di perkotaan adalah pedestrian. Dalam Bahasa sehari-hari kita sering menyederhanakannya dengan istilah trotoar, walaupun sebenarnya tidak sepenuhnya tepat.
Salah satu pedestrian di Jl Sudirman Jakarta

Trotoar di perkotaan sangat diperlukan oleh khalayak banyak. Hal itu karena pergerakan atau mobilitas masyarakat di perkotaan cukup tinggi. Untuk pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya yang jaraknya tidak terlalu jauh, masyarakat lebih senang menempuhnya dengan berjalan kaki. Selain itu, pedestrian sangat sangat diperlukan untuk menghubungkan dari satu transportasi publik ke transportasi publik lainnya. Mustahil dapat tercipta sistem transportasi publik yang baik apabila tidak ditunjang dengan pedestrian yang memadai.
Pedestrian yang terkoneksi dengan Halte Busway

Namun sayang, penyediaan fasilitas pedestrian di perkotaan saat ini pada umumnya belum begitu baik. Permasalahan yang umum terjadi di lapangan sangat beragam, mulai dari pedestrian yang tidak tersedia sama sekali, pedestrian yang tidak sesuai standar, jalur difabel yang tidak sesuai, hingga okupasi jalur pedestrian oleh parkir liar atau pedagang kaki lima (PKL).
Pedagang Kaki Lima di Jalur Pedestrian

Okupasi pedestrian oleh pedagang kaki lima sepertinya dianggap lazim di setiap kota. Ketersediaan tempat berdagang yang kurang memadai ditambah pemerintah yang masih cenderung permisif dan kesadaran pedagang akan ketertiban umum yang masih rendah berkolaborasi menciptakan kesemerawutan ini. Alhasil, tidak ada kenyamanan yang tercipta di pedestrian. Orang yang hendak melintas menggunakan pedestrian terhambat oleh para PKL maupun para pembeli yang berkerumun.
Pedestrian yang rusak

Di lain tempat pedestrian yang tersedia jauh dari sifat layak. Pedestrian yang bolong-bolong dan becek penuh genangan air akan dengan mudah ditemukan di beberapa sudut kota. Kondisi ini tentunya merupakan buah dari pembangunan yang tidak sesuai perencanaan, pemeliharaan yang tidak baik, serta kesadaran masyarakat yang rendah.
Jasa tambal ban di atas pedestrian

Berbagai aktivitas sebagai buah dari kekurangsadaran masyarakat terhadap fasilitas publik semakin hari semakin banyak. Ekonomi yang semakin sulit membuat masyarakat melakukan apa saja untuk mendapatkan uang kendati harus melanggar ketertiban umum. Seperti yang dapat dilihat pada gambar di atas, orang dengan mudah dapat membuka jasa tambal ban di atas trotoar.
Penggunaan jalur pemandu difabel yang tidak sesuai

Bukti lainnya bahwa pemerintah tidak serius membangun pedestrian adalah fasilitas bagi penyandang disabilitas yang masih minim. Gambar di atas merupakan sebuah potret yang sangat menggelikan dimana ubin pemandu tunanetra yang seharusnya ditempatkan di titik pergantian arah malah digunakan untuk penujuk arah lurus. Hal ini tentu akan sangat membingungkan apabila seorang tunanetra melintasinya.
Tim Grass 

Komitmen pemerintah untuk mengembangkan pedestrian yang layak baik secara fisik maupun fungsi menjadi sebuah tuntutan yang semakin mendesak. Mobilitas sosial ekonomi yang semakin tinggi khususnya di perkotaan menuntut penyediaan fasilitas pejalan kaki yang memadai baik secara fisik, fungsi, dan tidak lupa secara estetika.

Selasa, 10 Januari 2017

Nasib Pelayanan Publik Di Bawah Bendera UU Pemda 2014

Pelayanan publik adalah hak publik. Publik berhak, bahkan sangat berhak, untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas dari penyelenggara negara dan pemerintahan dan/atau badan lain yang pembiayaannya menggunakan APBN atau APBD. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan utama bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Paling tidak tiga yang disebut pertama dari empat tujuan yang tertuang tersebut merupakan cikal bakal utama pelayanan publik bagi masyarakat, yang diberikan oleh negara melalui penyelenggara negara dana pemerintahan. Sedangkan satu yang terakhir berupa keiktsertaan dalam pergaulan internasional, namun pada akhirnya akan berkaitan pula dengan pelayanan publik bagi warga negara Indonesia. Misalnya, ketika seorang WNI sedang berada di suatu negara maka dengan hubungan yang baik antara Indonesia dengan negara tersebut maka WNI tersebut akan lebih terjamin hak-haknya.

Reformasi politik pada 1998 dan diikuti reformasi di segala bidang, melahirkan sebuah sistem pemerintahan desentralisasi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta beberapa kali perubahannya. Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dari Pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah sesuai dengan asas otonomi dan tugas pembantuan. Mayoritas kewenangan Pemerintah dilimpahkan kepada daerah, kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, dan agama. Hal ini menjadikan wewenang yang dimiliki oleh daerah begitu luas. Namun, harus disadari bahwa disamping wewenang yang luas, kewajiban Pemerintah Daerah terhadap objek-objek kewenangan ini pun menjadi sangat luas dan kompleks. Hal ini berarti pula tantangan untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat semakin luas, kompleks, dan menantang.

Beberapa kabar baik datang dari daerah-daerah yang telah mampu memberikan angin segar pelayanan publik kepada masyarakatnya.  Biasanya daerah yang semerbak harum namanya ini didukung oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mapan sehingga mempunyai cukup bahan bakar untuk membangun sarana prasarana dan aspek-aspek lain bagi peningkatan kualitas pelayanan publik. Namun, bukan hanya faktor itu, faktor lain yang cukup penting adalah kepemimpinan di daerah, baik eksekutif (kepala daerah) maupun legislatif (DPRD), serta tata kelola pemerintahan yang dilakukan oleh birokrasi di daerah. Bisa jadi, daerah yang kaya dengan sumber daya alam dan industri namun para pejabatnya banyak yang korup, justru bisa menjadi juru kunci klasemen pembangunan daerah.

Selain membawa kabar baik, burung-burung pembawa kabar justru lebih banyak membawa kabar berita tidak menyenangkan dari daerah-daerah. Masyarakat di daerah mengeluh, mengadu, berdemonstrasi, menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari Pemerintah Daerahnya. Hal ini sangat wajar, karena harapan masyarakat yang telah mereka sematkan di pundak para elit di daerah bukan main tingginya. Berpijak dari pemahaman bahwa otonomi daerah adalah salah satu upaya untuk pemerataan pembangunan, masyarakat pun menantikan dan bertanya “mengapa pemerataan pembangunan belum juga saya rasakan?” atau “mengapa kehidupan kami begini-begini saja?”. Sebagian sudah sampai pada level pertanyaan meminta kepastian: “Kapan akan tersedia pelayanan pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur yang layak untuk kami?” Atau ada pula yang mencapai level curiga dan menuduh: “pemerintah hanya melayani diri mereka sendiri dengan uang kami, uang rakyat!” Melihat kondisi saat ini, dimana banyak Kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi baik sebagai tersangka, terdakwa maupun sudah diputus bersalah oleh pengadilan, tuduhan masyarakat bisa jadi benar adanya.
Masyarakat sudah menantikan perubahan yang digaung-gaungkan itu. Janji untuk mencapai kesejahteraan dengan wajah baru era reformasi. Ternyata semua itu, saat ini terbukti hanya bualan semata di mata masyarakat. Belum lagi jika mereka membandingkannya dengan segala sesuatu di masa sebelumnya, zaman Pak Harto begitu mereka menyebutnya, dimana dengan pemahaman sederhana masyarakat ukurannya sangat mudah: sembako murah, keamanan terjamin, pupuk murah d.l.l. Mereka tidak peduli dengan harga suara politik yang juga murah pada saat itu. Apa yang dirasakan sehari-hari, itulah kesejahteraan paling nyata dalam ukuran masyarakat awam.

Nampaknya kekecewaan masyarakat terhadap Pemerintah Daerah memang tidak terbantahkan. Beberapa data bahkan menunjukkan kinerja Pemerintah Daerah di era desentralisasi dan otonomi daerah ini memang tidak menunjukkan angka-angka menggembirakan. Rapor pemda-pemda banyak yang merah karena terbakar berbagai api masalah, terlihat dari berbagai sudut potret daerah: korupsi eksekutif, korupsi legislatif, korupsi berjamaah, jalan mangkrak, drainase amblas, jembatan putus, sekolah ambruk, puskesmas bocor, balita busung lapar, hutan gundul, sungai tercemar, irigasi kering, dan sejumlah potret lainnya. Di lain pihak, elit-elit daerah dan golongannya berpesta pora dengan dana-dana bansos, dana hibah, dan kepingan-kepingan emas APBN dan APBD yang hanya dinikmati segelintir orang.

Dalam catatan Ombudsman Republik Indonesia sebagai Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik, Pemerintah Daerah selalu menempati urutan pertama instansi pemerintahan yang diadukan masyarakat kepada Ombudsman RI dalam lima tahun terakhir. Bahkan, Pemerintah Daerah. Laporan masyarakat mengenai Pemerintah Daerah meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 pengaduan masyarakat tentang pelayanan Pemerintah Daerah kepada Ombudsman RI sejumlah 354 laporan (31,13%), meningkat pada tahun 2011 menjadi 671 laporan (35,94%), tahun 2012 menjadi 796 laporan (34,81%), pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2329 laporan (45,02%), sedangkan pada tahun 2014 sejumlah 2887 laporan (43,24%).
Jumlah dan varian pelayanan publik yang diselenggarakan Pemerintah Daerah memang menjadi salah satu pemicu besarnya jumlah pengaduan tersebut.

Namun disamping itu, banyaknya pengaduan masyarakat ini berkaitan pula dengan kualitas tata kelola pemerintahan di suatu daerah, termasuk responsivitas para pejabat di daerah terhadap masalah pelayanan publik yang dihadapi warga masyarakatnya. Masyarakat di suatu daerah tidak akan sampai melapor kepada Ombudsman RI jika keluhannya telah dapat diselesaikan oleh Pemerintah Daerah itu sendiri. Namun karena Pemerintah Daerah kerap kali mengabaikan keluhan atau tidak dapat memberikan solusi penyelesaian maka sudah menjadi hak masyarakat untuk mengadu kepada lembaga-lembaga yang kompeten, salah satunya Ombudsman.

Keluarnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan undang-undang pendahulunya yaitu Undang-undang 32 Tahun 2004, menjadi harapan tersendiri bagi nasib pelayanan publik di daerah. Beberapa pengaturan di dalam undang-undang ini menegaskan pelayanan publik sebagai sesuatu yang harus ada dalam prioritas teratas perhatian Pemerintah Daerah. Di samping itu, undang-undang ini pun memberikan tambahan norma hukum baru untuk Ombudsman RI dalam melaksanakan wewenangnya terkait pelayanan publik, khususnya berkaitan dengan rekomendasi Ombudsman RI terhadap suatu maladministrasi yang terjadi dalam pelayanan publik di daerah. Salah satu pasal yang mengatur kaitan kewenangan Ombudsman RI dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah adalah Pasal 351 undang-undang ini. Pada pasal ini diatur bahwa masyarakat dapat mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah kepada Ombudsman RI dan Kepala Daerah wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI. Apabila Kepala Daerah tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat tersebut, maka dijatuhkan sanksi berupa pembinaan khusus oleh Kementerian terkait.

Bagaimanapun, harus ditegaskan ulang semangat otonomi daerah ini adalah semangat pemerataan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika pelayanan publik kepada masyarakat dijadikan prioritas utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah ini. Dengan terbitnya UU Pemda 2014, semangat itu semakin nyata terlihat, tinggal bagaimana implementasinya dapat dilakukan oleh masing-masing Pemerintah Daerah. Selain itu, Ombudsman RI dengan kekuatan 32 Perwakilan Provinsi, sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya sesuai undang-undang, harus tetap konsisten dan berintegritas dalam rangka mengawal pelayanan publik di daerah demi meningkatnya kualitas pelayanan publik bagi masyarakat.