Kesejahteraan sebuah komunitas atau masyarakat memang tergantung kepada sejauhmana upaya dan ikhtiar yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini sudah merupakan ketentuan Ilahiah sebagaimana dikatakan oleh Tuhan dalam Al-Quran dalam surat Ar-Raadu ayat 11 bahwa “...Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri...”.Upaya yang dilakukan oleh komunitas tersebut baik secara individual maupun kolektif pada akhirnya berbuah hasil adanya perubahan pada mereka. Sedikit atau banyak, baik ataupun buruk, perubahan perlahan akan terjadi. Namun demikian, kemauan mengubah tidak datang dengan sendirinya. Diperlukan adanya tenaga eksogen sebagai pemicu terjadinya sebuah gerakan pada sesuatu yang selanjutnya gerakan awal itu dimotori oleh tenaga endogen yang menjadi bahan bakar terus menerus. Seperti kemerdekaan bangsa ini yang tidak hanya dipengaruhi oleh dorongan internal melainkan juga dipicu adanya semangat nasionalisme yang berkembang di negara-negara lain di dunia.
Jika masyarakat modern dan kesejahteraan yang diharapkan terjadi pada mereka saat ini dikaitkan dengan apa yang kami katakan di atas, maka selain dari upaya pada dirinya sendiri, ada “tangan-tangan” lain yang seharusnya ikut serta mengusahakan perubahan kesejahteraan mereka. Tangan-tangan lain tersebut adalah “tangan” pemerintah dan “tangan” dunia usaha (pihak swasta). Pemerintah berusaha mendorong perubahan masyarakat dengan sejumlah program dan kebijakan yang pro kepada kepentingan masyarakat banyak. Sebuah program atau kebijakan dapat dikatakan pro kepentingan rakyat banyak jika dibagikan secara merata dan berkeadilan sesuai dengan peruntukkannya, bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme dan kepentingan politik penguasa serta berorientasi kepada hasil dan manfaat (output dan outcome) bukan hanya berorientasi pada input yang selalu berakhir dengan omong kosong mengenai realiasi anggaran.
Sedangkan pihak swasta (dunia usaha) mempunyai peran penting dalam mendorong sebuah komunitas masyarakat agar dapat berdaya melalui berbagai cara. Selain dengan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat, perusahaan yang berdiri di tengah-tengah komunitas masyarakat sudah sepantasnya berusaha menjadi “tetangga yang baik” yang ikut serta menciptakan lingkungan yang baik. Hal ini juga berhubungan dengan kepentingan perusahaan yang memerlukan sebuah lingkungan yang kondusif bagi perkembangan perusahaannya. Hal inilah yang mendorong dikenalnya sebuah konsep corporate social responsibility (CSR) dimana perusahaan ikut bertanggung jawab untuk membangun lingkungan baik fisik maupun sosial di sekitarnya agar dapat berjalan selaras dengan kemajuan perusahaan tersebut. Tentu saja, jika hal ini dapat berjalan dengan baik maka akan terjadi sebuah keadaan yang saling menguntungkan (mutualisme) antara masyarakat dengan perusahaan. Di Indonesia, konsep ini diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai investasi dan penanaman modal.
Perusahaan dan CSR di Kabupaten Sukabumi
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu daerah yang dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa. Hal ini menjadi salah satu faktor yang bagi menarik investor untuk berinvestasi di Sukabumi. Sehingga berbagai macam perusahaan bermunculan di Sukabumi dan banyak diantaranya yang bergerak di bidang pemanfaatan sumber daya alam antara lain air minum, panas bumi, barang tambang, dan lain-lain. Perusahaan-perusahaan tersebut bukan lagi berlevel dan berlabel lokal melainkan perusahaan nasional bahkan multinasional.
Jika penerapan CSR di Sukabumi telah dilakukan secara konsisten sesuai dengan prinsip-prinsip CSR, banyaknya perusahaan di Sukabumi ini tentu akan berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat karena perusahaan akan ikut bertanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan baik fisik maupun sosial di internal perusahaannya dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Ketujuh prinsip tersebut sebagaimana ada pada ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility yakni: the invironment, social development, human right, organizational governance, labour practices, fair operating practices dan consumer issues. Sehingga beberapa hal yang dilakukan oleh perusahaan berdasarkan prinsip ini antara lainpeningkatan pengelolaan perusahaan yang baik, penjaminan hak pekerja, ketaatan pada aturan, berorientasi kepada pelanggan, pembangunan sarana fisik, infrastruktur, peningkatan pendidikan, kesehatan serta kesejahteraan masyarakat secara umum.
Namun, kenyataan yang terjadi bisa dikatakan jauh panggang dari api bahkan berbanding terbalik. Masyarakat bukan dapat merasakan manfaat dari perusahaan-perusahaan tersebut melainkan harus selalu menelan pil pahit dari sejumlah permasalahan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Pencemaran lingkungan, pencaplokan lahan, kerusakan infrastruktur, kesenjangan pendapatan antara pekerja lokal dan asing, serta rusaknya tatanan sosial di sekitar pabrik menjadi sejumlah isu yang selalu berujung pada satu keadaan yaitu “masyarakat sekitar selalu dirugikan dan tertindas”.
Hal ini terjadi karena perusahaan yang sejatinya harus ikut bertanggung jawab memajukan lingkungannya namun dengan sejumlah dalih tertentu, mereka mangkir untuk melaksanakan kewajiban mereka itu. Untuk menghindari sanksi, berbagai upaya dilakukan agar kewajiban tersebut dapat dihindari, termasuk jika harus tawar menawar atau membeli kebijakan kepada pemerintah setempat ataupun pemerintah yang di atasnya. Ya, disinilah konsep kapitalis modern ditemukan!
CSR dan Kepentingan Penguasa
Penguasa akan sangat berhati-hati ketika berhubungan dengan pengusaha karena posisi tawar perusahaan yang cukup mapan secara ekonomi. Hal inilah yang menyebabkan berbagai macam aturan terutama mengenai perizinan dan lingkungan hidup menjadi mandul. Di era otonomi daerah, nampak jelas kerusakan lingkungan yang terjadi berpuluh kali lipat peningkatannya dibanding era sebelumnya. Hal ini dikarenakan Kepala Daerah dengan kewenangan yang dimilikinya menjual kebijakannya terhadap kepentingan para pengusaha dan penanam modal.
Tawaran mereka cukup menarik bagi para penguasa daerah yang telah habis modalnya ketika proses pemenangannya menjadi raja kecil di daerah. Penguasa yang telah kehabisan pundi-pundi keuangannya, tentu girang ketika berhadapan dengan perusahaan beserta segala fasilitas yang mereka berikan. Selain pajak resmi yang masuk ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD), sejumlah rupiah pun dapat mengalir di bawah meja. Salah satunya adalah dana CSR yang seharusnya menjadi hak masyarakat sekitar lingkungan perusahaan. Akhirnya, dana CSR yang seharusnya digunakan untuk peningkatan kualitas lingkungan hidup dan kesejahteraan sosial dipaksa masuk ke kantong-kantong eksekutif, legislatif bahkan yudikatif di daerah. Sangatlah jelas kepentingan para penguasa daerah terhadap dana CSR perusahaan-perusahaan tersebut. Dengan dalih kontrol dan apresiasi pemerintah terhadap CSR untuk menyejahterakan masyarakat, para penguasa daerah ini berbondong-bondong dalam acara peresmian bantuan CSR. Padahal bantuan yang diresmikan hanyalah sebagian kecil saja dari CSR yang seharusnya dikeluarkan oleh perusahaan. Sisanya? Entahlah, namun setiap orang atau lembaga yang tahu mengenai persoalan ini seolah menutup mata. Mengapa? Karena sama-sama menikmatinya. Kita hanya dapat berharap, hal ini tidak terjadi di muka bumi Sukabumi.
Perda CSR di Sukabumi
Beberapa waktu yang lalu sempat terdengar kabar bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sukabumi berinisiatif untuk membuat Peraturan Daerah mengenai CSR perlu dicermati. Adanya Perda tersebut dapat menjadi harapan baru bagi masyarakat Sukabumi, atau justru menjadi malapetaka baru. Hal tersebut akan tergantung pada arah kompas kebijakan yang tertulis di Perda tersebut. Sayang, kami pun belum mendapatkan naskah akademik dan rancangan Perda tersebut. Namun satu hal yang perlu menjadi perhatian bersama jika dalam Perda tersebut CSR diatur sebagai dana yang akan masuk ke dalam anggaran daerah sehingga kewenangan alokasinya ada pada eksekutif dan legislatif dalam bingkai Perda Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sebab sudah jelas terjadi pada dana hibah/bansos dan dana aspirasi. Anggaran tersebut, yang sejatinya adalah uang rakyat, setelah masuk ke dalam mekanisme APBD, maka (seolah-olah) bukan lagi milik rakyat melainkan milik para penguasa dan kroni-kroninya. CSR adalah kepeduliaan sosial dari perusahaan untuk masyarakat, tidak selayaknya menjadi komoditas politik.