Prihatin,
mungkin adalah satu kata yang pantas ada dalam benak kita sebagai rakyat yang
mencintai bangsanya yang beberapa waktu yang lalu merayakan Hari Pahlawan melihat
kondisi bangsa ini terutama dalam penegakan hukumnya. Ada pula kata lain yang
pantas mewakili perasaan hati kita yakni geram.
Kita prihatin karena dengan kondisi ini (penegakan hukum yang lemah) negara
akan hancur perlahan namun pasti. Kita geram karena pihak yang menghancurkan
tatanan hukum yang merupakan benteng negara ini adalah para penegak hukum itu
sendiri. Adakah mungkin para pahlawan yang sekarang tengah berada di sisi-Nya
prihatin dan geram pula melihat bangsa yang dulu mereka perjuangkan dengan
tebusan harta dan nyawa serta ceceran darah dan keringat telah digadaikan kepada
Si Gayus oleh oknum penegak hukum yang didasari keserakahan dan kemunafikan
mereka? Jika hal ini ditanyakan kepada Ebiet G. Ade mungkin beliau akan
menjawab pula, “tanyakanlah pada rumput
yang bergoyang!”.
Kasus
Gayus Tambunan yang kembali mencuat akhir-akhir ini adalah bukti betapa
penegakan hukum diingkari oleh penegak hukumnya itu sendiri. Peristiwa kabur
atau izin keluar tahanan (atau apalah namanya karena dilakukan berulang-ulang
hingga 68 kali), menyeret setidaknya sembilan orang polisi termasuk seorang
perwira berpangkat Komisaris Polisi. Bahkan banyak pihak menduga (atau mungkin bisa
dikategorikan menganalisis) bahwa mereka yang sembilan orang tersebut hanya
sejumlah pemain kecil saja dari
jumlah pemain yang terlibat dalam permainan kotor ini.
Mungkin
lebih pantas diibaratkan sebagai fenomena gunung es dimana keburukan yang
tersembunyi itu lebih besar secara kuantitas dan lebih emergency secara kualitas. Artinya tidak mungkin jaringan permainan
kotor ini hanya melibatkan sekelompok oknum kepolisian yang berjumlah sembilan
orang dengan pangkat tertinggi di antara mereka adalah Kompol. Kasus-kasus
serupa yang terjadi sebelumnya seperti Rekening Gendut Perwira POLRI, Mafia
Hukum dan Mafia Peradilan setidaknya melibatkan seorang Jenderal. Lebih dari
itu kasus-kasus perselingkuhan hukum ini
biasanya tidak hanya melibatkan oknum kepolisian saja melainkan selalu juga
terkait dengan institusi “penegak hukum” lainnya yakni Kejaksaan dan Pengadilan.
Dikatakan emergency bahwa kasus ini
sudah sedemikian berbahayanya karena telah mencederai rasa keadilan masyarakat
yang harus diingat merekalah sebagai pemilik bangsa ini, bukan para oknum
terlaknat itu.
Bahkan pihak-pihak yang selama ini
disandangkan padanya sebutan penegak
hukum itu lebih pantas disebut dengan peribahasa sebagai pagar makan tanaman. Ya, bagaimana
tidak, mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum
justru menjadi barisan terdepan dalam melanggar hukum. Dan lebih mengkhawatirkan
lagi, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penegak hukum ini bisa lebih
berbahaya daripada apabila dilakukan oleh warga negara biasa. Pelanggaran yang
dilakukan warga negara (orang awam/warga sipil) mungkin hanya akan menimbulkan
konsekuensi hukuman yang harus diterima oleh personal (individu) tersebut.
Tetapi pelanggaran hukum oleh “penegak hukum” dapat saja mempengaruhi proses
maupun output daripada sistem hukum.
Artinya perilaku bejat oknum “penegak hukum” akan mencederai proses dan hasil
dari suatu sistem penegakan hukum. Meminjam kata-kata Hotman Sitompul dalam
acara Legal Voice di Metro TV tadi malam bahwa hukum yang baik ketika
ditegakkan oleh penegak hukum yang tidak baik maka akan menjadi tidak baik
tetapi hukum yang tidak baik sekalipun ditegakkan oleh penegak hukum yang baik
maka akan menjadi baik. Mungkin beliau hendak mengatakan bahwa hukum kita
(baca: hukum Indonesia) sudah baik namun menjadi tidak baik karena memang para
“penegak hukumnya” tidak baik sehingga rasa keadilan masyarakat yang harusnya
dijunjung tinggi dalam penegakan hukum menjadi api jauh dari panggang, jauh dari harapan.
Berbicara
penghianatan yang seringkali dilakukan oleh oknum penegak hukum khususnya di
Kepolisian sesungguhnya harus kita lihat dari perspektif manajemen, secara
khusus manajemen sumber daya manusia. Bahwa proses manajemen sumber daya
manusia hendaknya meliputi planning,
organizing, staffing, actuating, dan evaluating.
Ini akan berarti bahwa tahap-tahap dalam proses tersebut harus dilakukan
dengan baik karena jika satu tahap saja dilakukan dengan tidak baik maka akan
berpengaruh kepada tahap selanjutnya.
Disini
saya ingin mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa penyelewengan hukum oleh oknum
kepolisian ini tidak bisa hanya kita lihat dari perspektif keadaan saja.
Mungkin benar pula semboyan salah satu acara kriminal di televisi yang
mengatakan bahwa “kejahatan tidak hanya
terjadi akibat niat pelakunya tapi juga karena ada kesempatan!”. Tetapi
jika kita perhatikan semboyan itu, dapat saja menjadi kritik yang tajam bahwa
para penegak hukum, salah satunya para anggota kepolisian yang melakukan tindakan
penyelewengan hukum tersebut bertindak hanya karena tuntutan keadaan
(kesempatan). Jika begitu, yang lainnya, yakni yang saat ini dipercaya sebagai
penegak hukum yang masih punya martabat dengan tidak melakukan penyelewengan
bukan karena tidak ada niat tetapi belum datang kesempatan saja. Oleh karenanya
tidak adil pula rasanya apabila kita lebih menyalahkan keadaan. Justeru kita
harus lebih meng-eksplore unsur niat
yang merupakan bagian dari kepribadian serta latar belakang personal anggota
Kepolisian tersebut.
Jika
kita melihat dari sudut pandang fungsi MSDM sudah nampak dengan jelas akhir-akhir
ini bahwa sistem perencanaan sumber daya manusia bagi Kepolisian di negeri ini
telah dicederai pula oleh transaksi
illegal. Betapa menjamur pemahaman di masyarakat (dan dapat saja pemahaman
masyarakat itu empiris) bahwa untuk menjadi seorang anggota Kepolisian di masa
sekarang ini bisa disebut gampang-gampang susah. Gampang bagi yang berduit
karena dengan menyediakan uang 50-100 juta sudah bisa menjadi anggota tanpa dipertimbangkan unsur
kemampuan dan kesehatan jasmani maupun rohaninya. Sebaliknya susah bagi orang
yang memiliki mutu yang baik secara jasmani dan rohani tapi tidak memiliki
uang. Hal ini adalah masalah karena ketika perencanaan sumber daya manusia bagi
Kepolisian ini berjalan tidak baik maka kita telah bisa menduga, proses yang
akan terjadi selanjutnya jika dilihat dari perspektif MSDM juga akan
berlangsung jelek.
Oleh
karenanya untuk menjawab tantangan dalam penegakan hukum khususnya
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh penegak hukum khususnya
Kepolisian hendaknya dilakukan dua hal. Pertama, tindak dengan tegas dan tanpa
pandang bulu oknum aparat kepolisian yang saat ini telah melakukan dan terbukti
secara hukum melakukan pelanggaran tersebut sebagai suatu tindakan represif.
Kedua, bahwa untuk mencegah hal ini terjadi pada generasi aparat penegak hukum
Kepolisian di masa depan hendaknya dimulai dengan memperbaiki sistem
perencanaan dan sistem perekrutan aparat Kepolisian sebagai tindakan preventif
bagi masa depan. Namun keduanya ini adalah tergantung dari kemauan dari POLRI itu
sendiri sekaligus tantangan terutama bagi Jenderal Timur Pradopo yang sekarang
menjabat sebagai Kapolri.
Untuk
menutup tulisan ini penulis ingin mengatakan bahwa hukum harus ditegakkan
pertama-tama kepada dan oleh penegak hukum itu sendiri. Artinya penegak hukum
harus mempunyai tekad menegakkan hukum bagi dirinya sendiri terlebih dahulu
sebelum bertekad menegakkan hukum bagi masyarakat. Tunggulah kehancuran negara
beserta sistem hukumnya ini jika dijalankan oleh para oknum-oknum pengkhianat/aktor penegak hukum. Mereka yang saya
sebut aktor ini hanya akan menegakkan
hukum dengan pura-pura artinya hukum hanya akan diberlakukan bagi masyarakat
luas tetapi merasa dirinya kebal hukum sehingga bisa bertindak sewenang-wenang
terhadap hukum yang seharusnya ditegakkannya.