Oleh: Asep Cahyana
Jika akhir-akhir ini ramai orang bicara tentang Ahok karena kasus dugaan penistaan agama, pernah juga ramai pertentangan Ahok dengan para Ketua RT dan RW se-DKI Jakarta. Saat itu, Ahok mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan RT dan RW untuk melaporkan kinerja pelayanannya lewat aplikasi Qlue. Tidak tanggung-tanggung, tiga kali laporan dalam sehari. Ketua RT dan RW berontak tidak setuju. Masalah ini berbuntut pada Gerakan 3 Juta KTP Tolak Ahok.
Rasa-rasanya tidak ada orang dewasa yang tidak mengenal istilah Pak RT (Ketua Rukun Tetangga) dan Pak RW (Ketua Rukun Warga), baik di perkotaan maupun pedesaan. Apabila pada komunitas masyarakat ada masalah, dia adalah orang pertama yang dituju. Mungkin itu juga sebabnya dunia entertainment banyak melibatkan karakter Pak RT di film, talk show, ataupun sinetron karena perannya sangat erat dengan keseharian masyarakat.
Posisi Kopral dengan kewenangan bak Jenderal. Pertama, dia merupakan respresentasi penguasa terhadap akar rumput. Misalnya, pada sejumlah alur pelayanan publik, tanda tangan dan stempel-nya sangat mujarab bagi lancarnya proses pelayanan. Kedua, ia merupakan representasi suatu masyarakat terhadap penguasa atau komunitas lain. Misalnya, sosialisasi sejumlah kebijakan dan program pembangunan Pemerintah atau sosialisasi pembangunan pabrik biasanya cukup diwakili Ketua RT dan RW. Kedua posisi ini memiliki posisi tawar yang cukup strategis dalam lingkup, situasi, dan kepada pihak tertentu.
Posisi tawar yang strategis merupakan powers, yang menurut teori klasik sangat rentan terhadap penyelewengan. Powers tend to corrupt, begitu kata Lord Acton. Maka, tidak mengherankan apabila banyak kabar Raskin disunat RT, iuran sampah dikorupsi RW, RT lakukan pungli pengantar KTP, RW makan CSR pabrik, dan lain-lain. Dengan fakta-fakta itu, banyak orang menganggap ia menjadi penghambat pelayanan publik yang berkualitas.
Keberadaan RT dan RW di Indonesia tidak terlepas dari sejarah pendudukan Indonesia oleh Jepang. Sebagaimana dibahas dalam buku Sejarah Indonesia karangan Sartono Kartodirdjo, ialah Pemerintah Jepang yang memperkenalkan sistem tata pemerintahan RT dan RW negeri kita. Dalam bahasa Jepang, Rukun Tetangga dikenal dengan nama Tonarigumi dan Rukun Warga adalah Azzazkyokai. Konon, sistem ini dipakai oleh Jepang dalam rangka merapatkan barisan diantara para penduduk Indonesia sekaligus sebagai pengawasan dan pengendalian Pemerintahan Militer Jepang atas suatu wilayah.
Menurut Permendagri No. 5/2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, RT dan RW merupakan salah satu Lembaga Kemasyarakatan yang ada di desa atau kelurahan. Lembaga Kemasyarakatan dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra Pemerintah Desa dan lurah dalam memberdayakan masyarakat. Jenisnya bermacan-macam, mulai dari Lembaga Adat, LKMD/LPMD, PKK, Karang Taruna, dll.
Dari sekian banyak Lembaga Kemasyarakatan, RT dan RW adalah yang paling erat dengan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Hal ini karena tugasnya membantu Pemerintah Desa dan Lurah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Fungsinya antara lain: pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintahan lainnya; pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga; pembuatan gagasan dalam pelaksanaan pembangunan dengan mengembangkan aspirasi dan swadaya murni masyarakat; dan penggerak swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat di wilayahnya.
Dengan adanya fungsi pelayanan administrasi pemerintahan tersebut, maka dalam banyak pelayanan publik Surat Pengantar RT/RW selalu dipersyaratkan. Untuk membuat KTP, Keterangan Domisili, pengajuan Beasiswa Miskin dan lain-lain, surat ini bagai “surat sakti”. Tanpa surat pengantar tersebut, hampir mustahil pihak Desa atau Kelurahan akan memberikan pelayanan dalam prosedur normal.
Pertanyaannya, apakah RT dan RW mampu menyelenggarakan pelayanan publik sesuai tuntutan UU Pelayanan Publik? Faktanya, pengurus RT dan RW adalah anggota masyarakat yang memiliki profesi beragam. Sehingga yang sering terjadi, Ketua RT baru bisa ditemui pada malam hari selepas ia bekerja sebagaimana profesi dan pekerjaannya. Artinya, pelayanan publik hanya diberikan dengan sisa waktu dan tenaga sehingga cenderung tidak optimal.
Konon pada masa yang lalu, tidak ada orang dewasa benar-benar ingin menjadi Ketua RT atau RW. Kebanyakan orang yang pernah menduduki “jabatan” itu karena terpaksa. Untuk menghibur diri, dibumbuilah dengan embel-embel sebagai pengabdian. Alasannya, Ketua RT dan Ketua RW adalah “aparat negara” paling berat tanggung jawabnya tapi kesejahteraannya nol. Berbeda dengan saat ini, banyak orang bela-belain melapor kesana-kemari karena kalah pemilihan Ketua RT atau RW. Rupanya pada zaman ini, honor Ketua RT/RW tidak separah dulu. Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui berbagai anggaran, memberikan alokasi yang lumayan. Sehingga sudah banyak juga orang yang menekuninya full time sebagai sebuah pekerjaan.
Kewenangan besar RT dan RW dalam pelayanan publik nyata adanya. Namun Pemerintah tidak boleh mempertaruhkan kualitas pelayanan publik dengan membiarkan pelayanan dilakukan dengan manajemen alakadarnya. Pemerintah mesti memerankan fungsi kontrol secara optimal. Menghilangkannya dari sistem pemerintahan di desa atau kelurahan bukan merupakan pilihan yang tepat. Sebagai alternatif, dapat dengan mencabut fungsi pelayanan administratif yang ada RT dan RW atau dengan tetap memberikan fungsi pelayanan administratif namun dengan jaminan kepatuhan secara penuh terhadap ketentuan UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Konsentrasi Kebijakan Publik, Pelayanan Publik, dan Lingkungan Hidup
Jumat, 10 Februari 2017
Selasa, 07 Februari 2017
BIROKRAT PRODUK KEKERASAN SEKOLAH KEDINASAN
Oleh: Asep Cahyana
Lagi-lagi dunia pendidikan, lagi-lagi terjadi di sekolah tinggi kedinasan. Kekerasan di perguruan tinggi kedinasan seolah tidak ada hentinya. Baru-baru ini publik dikejutkan lagi dengan berita Amirullah Adityas Putra, taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, yang tewas penuh luka memar. Amirullah diduga tewas setelah diberikan “pembinaan” oleh seniornya di lingkungan kampus milik Kementerian Perhubungan ini. Dua tahun lalu di institusi yang sama, Dimas Dikita Handoko harus meregang nyawa, setelah “dipanggil” ke kosan seniornya. Sebelumnya pada tahun 2008, Agung Bastian Gultom mengalami hal serupa, tewas di tangan senior.
Hal yang sama kerap terjadi pada lembaga pendidikan sejenis untuk para calon birokrat ini. Sebut saja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (dahulu STPDN) Jatinangor misalnya. Di sekolah kedinasan milik Kementerian Dalam Negeri ini tercatat beberapa kasus praja yang meninggal tak wajar. Kasus tewasnya Cliff Muntu pada tahun 2007 adalah salah satu yang paling menyita perhatian publik. Saat itu, pihak IPDN diduga menutup-nutupi kasus ini dengan meminta petugas pemulasaraan jenazah untuk menyuntik formalin ke tubuh korban. Lebih mengejutkan lagi ketika Dr. Inu Kencana Syafei, salah satu dosen IPDN, mengungkapkan dalam buku IPDN Undercover: Sebuah Kesaksian Bernurani, bahwa ada lebih kurang 17 kematian tak wajar praja IPDN dalam kurun 1990-2007.
Kita sepatutnya miris dengan kekerasan di dunia pendidikan ini. Namun seharusnya kita lebih khawatir lagi bila mengingat akan jadi apa lulusan sekolah-sekolah kedinasan itu. Birokrat. Mereka akan menjadi pegawai-pegawai negara yang menentukan kemana negeri ini akan dibawa. Mereka sebenarnya lebih memerlukan otak yang sehat daripada otot yang kuat atau perut yang tahan pukul. Masyarakat yang akan mereka layani lebih memerlukan senyum yang berkembang daripada wajah yang penuh kebencian. Akankah pola pendidikan penuh dendam dan tinju seperti itu memenuhi kebutuhan birokrat harapan rakyat?
Eksklusivitas
Sekolah kedinasan dilaksanakan dengan berbagai ekslusivitas bagi para peserta didiknya. Mulai dari penamaan peserta didik (praja, taruna, siswa, dll), seragam khas (yang diagung-agungkan), senioritas, asrama terpisah yunior-senior, slawir (hormat ketika bertemu senior), disiplin semi-militer, hingga jaminan setelah lulus langsung jadi Pegawai Negeri. Hal-hal ekslusif ini berinteraksi hingga mengkristal membentuk tradisi hingga hukum tidak tertulis bahwa senior selalu benar dan yunior selalu salah. Kepatuhan terhadap senior seolah-olah adalah hal mutlak, kendati senior berlaku salah. Apalagi, tidak jarang otoritas kampus memberikan kewenangan kepada para senior untuk melakukan pembinaan terhadap yuniornya.
Kepatuhan tanpa batasan benar-salah dari yunior kepada senior adalah tradisi yang jelas-jelas tidak sehat. Apalagi para lulusan ini akan langsung menjadi birokrat dan sangat mungkin membawa tradisi tidak baik ini ke dalam dunia kerja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila virus ewuh pakewuh hingga penyakit Asal Bapak Senang (ABS) terus menerus terjadi dalam tubuh birokrasi yang semakin rapuh. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme akan semakin sulit diberantas karena bawahan tidak berani dan tidak boleh berani-berani menegur atasan yang khilaf. Pengembangan karier dengan merit sistem jelas akan terhambat karena yang berlaku adalah senioritas “abang dulu baru situ”. Lebih parahnya lagi, apabila ada yunior yang maju karena berprestasi, maka akan dijegal bareng-bareng hingga ambruk. Oleh karena itu bibit-bibit penyakit birokrasi semacam ini harus dipangkas dan dicegah sejak dini, sejak para birokrat dalam fase penyemaian di lembaga-lembaga pendidikan.
Patologi Birokrasi
Patologi birokrasi atau penyakit birokrasi adalah interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel lingkungan yang salah (Dwiyanto, 2011: 63). Adapun macam-macam patologi birokrasi antara lain: paternalistik, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan, pembengkakan birokrasi dan fragmentasi birokrasi. Pada patologi birokrasi paternalistik, atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakuan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa saja yang dilakukan atasan. Kita dapat melihat, tuntutan senioritas tanpa batas yang dipertontonkan oleh para senior peserta didik calon birokrat menunjukkan paternalistik yang sudah terbentuk bahkan ketika mereka belum memasuki dunia birokrasi yang sesungguhnya.
Padahal Perpres Nomor 80/2011 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025 menetapkan sumber daya manusia aparatur dan budaya kerja aparatur (culture set dan mind set) sebagai dua dari delapan area perubahan. Maka, untuk mewujudkan cita-cita Reformasi Birokrasi itu, penyakit-penyakit pada sumber daya manusia aparatur itu harus diberangus sejak kecambah. Begitu juga budaya dan pola pikir aparatur yang “sesat” dan “menyesatkan” harus segera diberantas agar tidak menular pada generasi berikutnya. Dengan begitu visi Reformasi Birokrasi “terwujudnya pemerintahan kelas dunia” bisa benar-benar terwujud.
Sudah saatnya Pemerintah menghilangkan eksklusivitas yang ada pada perguruan tinggi kedinasan itu karena terbukti lebih banyak menuai mudharat daripada manfaatnya. Kedisiplinan dan keunggulan bukan hanya dapat diraih dengan pola pendidikan semi-militer, pukulan, tendangan, serta seragam khusus dengan kebanggan berlebihan. Pun sumber daya manusia aparatur yang berkualitas bukan hanya dapat dibentuk dengan mengkarantina “bahan baku” calon birokrat pada sebuah sistem pendidikan milik Kementerian tertentu. Indonesia masa kini telah memiliki perguruan tinggi baik negeri maupun swasta dengan lulusan sarjana yang berkualitas. Spesialisasi keahlian sesuai keperluan setiap Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah bisa dibentuk pada jenjang setelah sarjana. Kita patut mencontoh TNI dan Polri telah mulai melakukannya dengan merekrut calon perwira dari lulusan sarjana.
Lagi-lagi dunia pendidikan, lagi-lagi terjadi di sekolah tinggi kedinasan. Kekerasan di perguruan tinggi kedinasan seolah tidak ada hentinya. Baru-baru ini publik dikejutkan lagi dengan berita Amirullah Adityas Putra, taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, yang tewas penuh luka memar. Amirullah diduga tewas setelah diberikan “pembinaan” oleh seniornya di lingkungan kampus milik Kementerian Perhubungan ini. Dua tahun lalu di institusi yang sama, Dimas Dikita Handoko harus meregang nyawa, setelah “dipanggil” ke kosan seniornya. Sebelumnya pada tahun 2008, Agung Bastian Gultom mengalami hal serupa, tewas di tangan senior.
Hal yang sama kerap terjadi pada lembaga pendidikan sejenis untuk para calon birokrat ini. Sebut saja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (dahulu STPDN) Jatinangor misalnya. Di sekolah kedinasan milik Kementerian Dalam Negeri ini tercatat beberapa kasus praja yang meninggal tak wajar. Kasus tewasnya Cliff Muntu pada tahun 2007 adalah salah satu yang paling menyita perhatian publik. Saat itu, pihak IPDN diduga menutup-nutupi kasus ini dengan meminta petugas pemulasaraan jenazah untuk menyuntik formalin ke tubuh korban. Lebih mengejutkan lagi ketika Dr. Inu Kencana Syafei, salah satu dosen IPDN, mengungkapkan dalam buku IPDN Undercover: Sebuah Kesaksian Bernurani, bahwa ada lebih kurang 17 kematian tak wajar praja IPDN dalam kurun 1990-2007.
Kita sepatutnya miris dengan kekerasan di dunia pendidikan ini. Namun seharusnya kita lebih khawatir lagi bila mengingat akan jadi apa lulusan sekolah-sekolah kedinasan itu. Birokrat. Mereka akan menjadi pegawai-pegawai negara yang menentukan kemana negeri ini akan dibawa. Mereka sebenarnya lebih memerlukan otak yang sehat daripada otot yang kuat atau perut yang tahan pukul. Masyarakat yang akan mereka layani lebih memerlukan senyum yang berkembang daripada wajah yang penuh kebencian. Akankah pola pendidikan penuh dendam dan tinju seperti itu memenuhi kebutuhan birokrat harapan rakyat?
Eksklusivitas
Sekolah kedinasan dilaksanakan dengan berbagai ekslusivitas bagi para peserta didiknya. Mulai dari penamaan peserta didik (praja, taruna, siswa, dll), seragam khas (yang diagung-agungkan), senioritas, asrama terpisah yunior-senior, slawir (hormat ketika bertemu senior), disiplin semi-militer, hingga jaminan setelah lulus langsung jadi Pegawai Negeri. Hal-hal ekslusif ini berinteraksi hingga mengkristal membentuk tradisi hingga hukum tidak tertulis bahwa senior selalu benar dan yunior selalu salah. Kepatuhan terhadap senior seolah-olah adalah hal mutlak, kendati senior berlaku salah. Apalagi, tidak jarang otoritas kampus memberikan kewenangan kepada para senior untuk melakukan pembinaan terhadap yuniornya.
Kepatuhan tanpa batasan benar-salah dari yunior kepada senior adalah tradisi yang jelas-jelas tidak sehat. Apalagi para lulusan ini akan langsung menjadi birokrat dan sangat mungkin membawa tradisi tidak baik ini ke dalam dunia kerja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila virus ewuh pakewuh hingga penyakit Asal Bapak Senang (ABS) terus menerus terjadi dalam tubuh birokrasi yang semakin rapuh. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme akan semakin sulit diberantas karena bawahan tidak berani dan tidak boleh berani-berani menegur atasan yang khilaf. Pengembangan karier dengan merit sistem jelas akan terhambat karena yang berlaku adalah senioritas “abang dulu baru situ”. Lebih parahnya lagi, apabila ada yunior yang maju karena berprestasi, maka akan dijegal bareng-bareng hingga ambruk. Oleh karena itu bibit-bibit penyakit birokrasi semacam ini harus dipangkas dan dicegah sejak dini, sejak para birokrat dalam fase penyemaian di lembaga-lembaga pendidikan.
Patologi Birokrasi
Patologi birokrasi atau penyakit birokrasi adalah interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel lingkungan yang salah (Dwiyanto, 2011: 63). Adapun macam-macam patologi birokrasi antara lain: paternalistik, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan, pembengkakan birokrasi dan fragmentasi birokrasi. Pada patologi birokrasi paternalistik, atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakuan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa saja yang dilakukan atasan. Kita dapat melihat, tuntutan senioritas tanpa batas yang dipertontonkan oleh para senior peserta didik calon birokrat menunjukkan paternalistik yang sudah terbentuk bahkan ketika mereka belum memasuki dunia birokrasi yang sesungguhnya.
Padahal Perpres Nomor 80/2011 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025 menetapkan sumber daya manusia aparatur dan budaya kerja aparatur (culture set dan mind set) sebagai dua dari delapan area perubahan. Maka, untuk mewujudkan cita-cita Reformasi Birokrasi itu, penyakit-penyakit pada sumber daya manusia aparatur itu harus diberangus sejak kecambah. Begitu juga budaya dan pola pikir aparatur yang “sesat” dan “menyesatkan” harus segera diberantas agar tidak menular pada generasi berikutnya. Dengan begitu visi Reformasi Birokrasi “terwujudnya pemerintahan kelas dunia” bisa benar-benar terwujud.
Sudah saatnya Pemerintah menghilangkan eksklusivitas yang ada pada perguruan tinggi kedinasan itu karena terbukti lebih banyak menuai mudharat daripada manfaatnya. Kedisiplinan dan keunggulan bukan hanya dapat diraih dengan pola pendidikan semi-militer, pukulan, tendangan, serta seragam khusus dengan kebanggan berlebihan. Pun sumber daya manusia aparatur yang berkualitas bukan hanya dapat dibentuk dengan mengkarantina “bahan baku” calon birokrat pada sebuah sistem pendidikan milik Kementerian tertentu. Indonesia masa kini telah memiliki perguruan tinggi baik negeri maupun swasta dengan lulusan sarjana yang berkualitas. Spesialisasi keahlian sesuai keperluan setiap Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah bisa dibentuk pada jenjang setelah sarjana. Kita patut mencontoh TNI dan Polri telah mulai melakukannya dengan merekrut calon perwira dari lulusan sarjana.
Minggu, 05 Februari 2017
Pedestrian Kota Semarang
Pada beberapa artikel sebelumnya, Grass telah menyajikan pembahasan-pembahasan mengenai pedestrian di DKI Jakarta. Secara umum kami menyajikan hal-hal baik maupun yang masih memerlukan perbaikan pada prasarana dan sarana pedestrian di DKI Jakarta. Nah, pada artikel kali ini kami akan menyajikan beberapa foto hasil observasi terhadap pedestrian di Kota Semarang. Kebetulan beberapa waktu yang lalu kami berkesempatan untuk mengunjungi Kota Lumpia tersebut.
Secara umum pedestrian di Kota Semarang yang sudah memperoleh perhatian (baca: penataan) adalah pada lokasi-lokasi strategis seperti Simpang Lima. Pada lokasi tersebut seperti yang dapat diobservasi oleh Grass, pedestrian yang tersedia cukup memadai, khususnya dilihat dari lebar trotoarnya.
Simpang Lima merupakan salah satu area publik di Kota Semarang. Kedudukannya yang berada di pusat Kota Semarang menjadi tujuan banyak orang, dari dalam maupun luar kota Semarang. Hal ini tidak disia-siakan oleh Pemerintah Kota Semarang, salah satunya dengan cara membangun pedestrian yang cukup memadai sekitar Simpang Lima ini.
Berbagai aktivitas publik terlihat di sekitar Simpang Lima. Masyarakat banyak yang menikmati pedestrian di lokasi ini dengan berjalan kaki maupun bersepeda. Aktivitas ini dapat dilihat setiap hari pada pagi hari.
Kondisi pedestrian yang cukup luas ini juga ditunjang dengan sarana pelengkap lainnya seperti tempat duduk. Hal ini cukup baik mengingat sebagian masyarakat bukan hanya datang untuk berjalan melainkan juga untuk menikmati kondisi kota. Maka keberadaan sarana penunjang seperti tempat duduk cukup penting. Selain itu pedestrian di lokasi ini juga telah dilengkapi jalur pemandu untuk tunanetra.
Gambar-gambar lainnya terkait pedestrian di Kota Semarang sebagai berikut:
Secara umum pedestrian di Kota Semarang yang sudah memperoleh perhatian (baca: penataan) adalah pada lokasi-lokasi strategis seperti Simpang Lima. Pada lokasi tersebut seperti yang dapat diobservasi oleh Grass, pedestrian yang tersedia cukup memadai, khususnya dilihat dari lebar trotoarnya.
Pedestrian di sekitar Simpang Lima |
Pedestrian Simpang Lima di subuh hari |
Masyarakat berolahtaga di sekitar Simpang Lima |
Pada saat Tim GRASS mengunjungi lokasi ini di hari kerja sekitar pukul 05.30 Wib, sudah banyak masyarakat yang beraktivitas fisik disana baik tua ataupun muda, lelaki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat terhadap fasilitas pedestrian sudah tak dapat diragukan lagi. Maka, tidak benar apabila ada Pemerintah Daerah manapun yang menunda pembangunan pedestrian dengan alasan tidak ada masyarakat yang mau berjalan kaki.
Minat berjalan masyarakat |
Kursi sebagai sarana pelengkap |
Hal lainnya yang menjadi nilai tambah adalah lingkungannya yang asri dan hijau. Keberadaan tumbuh-tumbuhan yang ditata sedemikian rupa menjadikan keindahan dan kenyamanan bagi pengguna pedestrian.
Tumbuhan di sekitar pedestrian |
Pedestrian dengan peneduh tumbuhan rambat |
Pedestrian berpola dan jalur pemandu tunanetra |
Tiang penghalau sepeda motor |
Kamis, 02 Februari 2017
GELIAT PEDESTRIAN KOTA BEKASI
Pada artikel sebelumnya, kami menyajikan kondisi pedestrian di DKI Jakarta. Secara umum, pedestrian di DKI Jakarta ada yang sudah baik namun banyak juga yang masih memprihatinkan. Nah, kali ini Tim akan menyajikan pantauan Tim terhadap fasilitas pedestrian di wilayah sekitar DKI l, yaitu Kota Bekasi.
Beberapa waktu lalu, Tim berkesempatan mengunjungi Kota Bekasi dan mendapati Kota Bekasi telah memiliki pedestrian yang cukup baik di beberapa lokasi. Tim telah mengambil foto berikut ini.
Pedestrian sekitar Balai Kota |
Beberapa waktu lalu, Tim berkesempatan mengunjungi Kota Bekasi dan mendapati Kota Bekasi telah memiliki pedestrian yang cukup baik di beberapa lokasi. Tim telah mengambil foto berikut ini.
Pedestrian Sekitar Balaikota Bekasi |
Telah dimulainya perbaikan trotoar di Kota Bekasi menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Bekasi mulai berkomitmen untuk menyediakan prasarana dan sarana pejalan kaki bagi masyarakat. Kita berharap upaya tersebut tidak berhenti pada sebagian pedestrian saja melainkan terus dilakukan setiap tahun hingga seluruh pedestrian di Kota Bekasi dapat menjadi pedestrian yang sesuai standar dan memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat sebagai pengguna.
Langganan:
Postingan (Atom)