- Mengarahkan ketimbang mengayuh,,,lebih bersifat pengarah daripada bersifat pemberi pelayanan. Lalu apakah itu tidak menjadi salah tafsir hingga ditafsirkan pemerintah mengingkari fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Itu menjadi pengingkaran bukan perbaikan pelayanan. Ini kondisi yang lebih buruk.lagi pula tidak semua hal dapat diprivatisasi. Ada sejumlah hal yang hanya dapat dilakukan oleh sector public pemerintah, tidak oleh swasta.
- Meberdayakan ketimbang melayani (pemerintah milik masyarakat),,,belum dapat dilaksanakan ketika masyarakat belum siap secara mental untuk masuk ke arena tersebut. Memang, hal ini sangat bagus pula jika melihat di masa dahulu masyarakat kita dapat memenuhi segala kebutuhannya dengan swadaya. Namun demikian di era globalisasi ini apakah itu semua masih menjadi mungkin? Kebutuhan masyarakat saat ini bukan sekedar kebutuhan tradisional dan alami, namun sudah menuju kebuthan tingkat tinggi seiringa dnegan globalisasi yang tidak dapat dibendung. Jika pemerintaha dnegan berabagi sumber daya yang dimilikinya belum dapat memebrikan pelayanan kepada masyarakat, bagaimana hal nya yang akan terjadi jika masyarakat harus melayani dirinya sendiri???
- Memasukan kompetisi dalam pelayanan. Inti masalahnya adalah mencari yang lebih murah tetapi lebih bagus pelayanannya. Namun dalam kenyataannya, dalam system tender, si pemenang tender tidak menjalankan dua persyaratan tersebut sekaligus. Dia hanya akan memeilih salah satunya. Itu karena hal wajar, sumber daya (uang) berbanding lurus dnegan kualitas sesuatu. Hal yang paling rasional adalah dengan mengurangi harga. Mengapa? Karena jika harga tinggi walaupun kualitasnnya bagus ia tidak akan mendapatkan tendernya. Lalu bagaimana keuntungan masih bisa ia dapatkan dari tender yang plafonnya rendah? Ini yang terjadi, plafon yang sudah rendah masih dikurangi lagi dengan keuntungan yang harus didapat. Di lain pihak, saling maun mata antara kontraktor dengan panitia tender adalah hal yang masih sangat lumrah. Bahkan tidak jarang, CV-CV yang menjadi pemenang tender adlaah milik pejabat atau kerabat dan kolega pejabat pemerintah di proyek yang bersangkutan. Itulah yang terjadi.
- Pemerintah berdasarkan misi. Terjadi penyakit “lupa ingatan” jika seseorang telah menduduki suatu jabatan. Ini yang terjadi pada para birokrat dan pejabat politik di negeri ini. Ketika awal dia akan memangku jabatan maka mungkin saja ia memiliki keinginan dan harapan untuk dapat melayani masyarakat dengan misinya, bahkan seringkali misinya itu dipampang besar-besar di setiap tempat. Namun, roh suci yang mengisi misi itu hilang dan tidak digunakan dalam proses pemerintahannya. Inilah mungkin yang disebut salah satu patologi pemerintahan.
- Pemerintah yang berientasi hasil bukan input. Ini adalah hal yang sangat bagus. Namun akan lebih bagus lagi jika yang dilihat adalah outcome (manfaatnya). Jika hanya hasil (output) maka belum bersentuhan langsung dengan kesejahteraan masyarakat karena masih bersifat teknis belum bersifat manusiawi. Yang terjadi di lapangan, terjadi berbagai laporan abal-abal yang dibuat-buat oleh para birokrat untukmenghabiskan anggaran. Walaupun benar, anggaran harus berbasis hasil, tetapi atasan hanya melihat hasil berdasarkan laporan-laporan documenter, bukan secara langsung ke lokasi dan waktu program tersebut. Alhasil, yang banyak terjadi adalah kegiatan-kegiatan pelatihan yang menajdi “proyek jual nasi”, hanya sebagai penghabisan anggaran. Sudah menjadi rahasia umum bahwa seringkali pelatihan yang sediannya dilakukan 7 hari misalnya, disulap menjadi 4 hari. Lalu, anggaran untuk 3 harinya kemana? Padahal di laporan pelaksanaannya aalah 7 hari. Inilah penyakit birokrasi kita.
- Berorientasi kepada pelanggan. Jika dunia bisnis mempunyai slogan “pembeli adalah raja” maka belum begitu dnegan birokrasi kita. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, penjual (birokasi) ingin dianggap raja. Apakah ini panatas? Apa latar belakangnya? Budaya feodalisme yang masih kental, sehingga mengganggap jabatan birokrat adalah suatu strata khusus dalam masyarakat, suatu kasta yang lebih tinggi di masyrakat sehingga mereka menganggap masyarakat sebgai pihak lemah yang sangat membutuhkan dan tidak akan dapat berbuat apa-apa tanpanya. Sayangnya, masyarakat juga masih tumpul budaya kritisnya. Mereka menerima apa adanya. Alhasil, kenyataan yang terjadi adalah seringnya seorang birokrat menolak memberikan sesuatu yang dalam memorinya terrekam bahwa itu tidak/kurang sesuai dengan prosedur dengan ketakutan berlebihan bahwa atasannya akan memberikan sanksi padanya. Padahal, belum tentu atasannya akan setuju dengan keputusannya. Secara tidak ia sadari bahwasannya ia telah mengambil keputusannya yang belum tentu benar menurut atasannya. Mengapa justru ia tidak berkoordinasi dulu dengan atasannya mengenai hal itu?
- Pemerintah yang berwirausaha. Hal ini disalahtafsirkan oleh birokrasi kita. Buktinya adalah bahwa Rumah Sakit yang menrupakan BLUD dijadikan sebagai instansi penghasil Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di lain pihak, peran Perusahaan Daerah atau BUMD justru tidak dimaksimalkan. Kalaupun sebuah perusahaan daerah maju, maka yang pertama sejahtera bukanlah masyarakat sebagai konsumennnya, bahkan pemilik asset dan segala permodalannya, melainkan para pejabat teras BUMD tersebut yang menganggap BUMD sebagai perusahaan pribadinya.
- Mencegah daripada mengobati. Ini konsep yang amat bagus. Namun dmeikian, di era sekarang ini tugas pemerintah justru double. Di satu sisi ia harus melakukan antisipasi atau tindakan preventif bagi segala sesuatu yang mungkin dapat terjadi di masa depan setelah masa ini. Di lain pihak, kekacauan yang terjadi di masa kini juga tidak boleh terlepas dari perhatian. Hal ini dikarenakan, penyakit yang terjadi tidak akan sembuh dnegan sendirinya namun justru akan menular kepada konsep preventif untuk masa depan yang telah disiapkan.
- Pemerintah desentralisasi. Bagus di satu sisi, namun belum tentu di setiap sisi. Dengan adanya konsep ini memang benar, pengambilan keputusan termasuk pelaksanaannya lebih spesifik pada komunitas-komunitas tertentu. Hal yang terjadi saat ini yang menjadikan konsep tidak tidak maksimal justru adalah:
- Koordinasi yang masih kurang efektif dan komunikatif di antara semua instansi dan pemangku kepentingan, termasuk LSM, Media masa, mahasiswa, dan komunitas-komunitas masyarakat. Ini merupakan akibat dari belum lancarnya kanal-kanal informasi di antara mereka.
- Krisis kepercayaan setiap instansi atau pemangku kepentingan.
- Ketakutan setiap instansi jika saling bersinergi akan mengurangi kewenangan yang dimilikinya. Inilah “POSESIFITAS BIROKRASI”.
10. Pemerintah
yang berorientasi pasar. Sekilas terlihat bahwa ada sisi keadilan yang
ditonjolkan, mengurung system monopoli atau mungkin keberpihakan pemerintah
kepada pihak tertentu. Nmaun yang terjadi ternyata tidak seperti itu, system
mekanisme pasar inilah yang menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin luas. Dengan
mekanisme pasar, maka yang kuatlah yang akan bertahan sedangkan yang lemah
tidak akan kuat bersaing dan akhirnya hilang ditelan bumi. Sayangnya, karena
regulasi umum mengenai tidak bolehnya ada keberpihakan (system pasar), maka
kewenangan pemerintah untuk melindungi kaum lemah ini menjadi sangat terbatas.
Ini sangat berbahaya, karena dengan system ini kedaulatan pemerintah seolah
tidak ada lagi. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah pun menjadi sangat
tidak jelas manakala pemerintah tidak bisa mengamankan kepentingan rakyat banya
(yang kebanyakana adalah kaum lemah). Banyak orang bertanya “dimanakah
pemerintah kami sekarang ini? Tidakkah mereka melihat kesengsaraan kami akibat
para pemeras kapitalis yang semakin merasuk ke kampong-kampung? Mereka memerah
susu dari sapi-sapi yang tadinya milik kami, sekarang kami hanya bubuh pemeras
susu, mengangkut padi dari sawah-sawah warisan nenek moyang kami yang kini kami
hanya menjadi penggarapnya, kami pun hanya menjadi buruh-buruh rendahan di
pabrik-pabrik yang berdiri di atas tanah yang diperjuangkan setengah mati oleh
para pahlawan dan moyang kami. Kami merasa, kami belum merdeka”. Itulah yang
mereka katakan. Tetapi hanya sedikit dari mereka yang bisa berkata seperti
demikian. Kebanyakan dari mereka hanyalah diam, pasrah pada kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar