Oleh: Asep Cahyana
Adalah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa menyontek adalah hal
yang amat lumrah dilakukan, khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Pekerjaan yang dinamakan menyontek ini dalam Bahasa Inggris mempunyai padanan
kata "cheat" atau "cheating". Mungkin dalam Bahasa
Indonesia dapat pula disepadankan dengan kata menyadur, mengkopi, atau
sebagainya. Walaupun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata yang
berasal dari kata dasar "sontek" ini mempunyai beberapa arti yaitu 1.
menggocoh (dengan sentuhan ringan); mencukil(bola dsb) dengan ujung kaki, 2.
mengutip (tulisan dsb) sebagaimana aslinya; menjiplak.
Namun dalam kenyataannya penggunaan maknanya meluas. Menyontek yang
dimaksudkan dalam tulisan ini adalah menyontek yang memiliki arti nomor dua
dalam pengertian menurut KBBI di atas. Namun, makna dari menyontek tak hanya
merujuk pada kegiatan menjiplak seperti aslinya seperti dikatakan dalam KBBI
tersebut, akan tetapi juga mengarah pada suatu pekerjaan yanag tidak jujur atau
tidak yang dilakukan baik secara fisiknya ataupun esensinya. Misalnya, dalam
suatu ulangan atau test, kegiatan di mana perilaku menyontek banyak dilakukan,
menyontek bukan hanya mengarah pada orang yang menjiplak dari buku mengenai
jawaban dari apa yang menjadi soal, akan tetapi mengarah pula pada kegiatan
menanyakan jawaban kepada orang lain atau baik sebelum ataupun ketika test
berlangsung. Mengapa penulis bisa mengatakan sebelum test berlangsung? Karena,
dengan sudah begitu canggihnya sistem mencontek itu, jawaban bisa didapat
sebelum tes dimulai, berupa bocoran, misalnya.
Amoral
Namun, menyontek mempunyai nilai rasa yang lebih greget menyangkut
tingkat amoralnya. Dapat dikatakan bahwa menyontek lebih mengarah kepada tindakan
tidak jujur sehingga dapat dimasukan kepada tindakan yang amoral dan dapat
merusak nilai-nilai budaya serta kepribadian yang baik. Menyontek dalam arti
luas ini merujuk pada pekerjaan yang sangat indisipliner, amoral, dan bukan
merupakan suatu tindakan yang terpuji, bahkan amat tercela yang dapat pula
merusak masa depan generasi muda bahkan masa depan bangsa dan negara sehubungan
generasi muda adalah generasi penerus bangsa di masa depan.
Hal inilah yang harus menjadi pertimbangan kita untuk bersamaa-sama
melakukan tindakan baik secara persuasive ataupun coersive untuk
menghentikannya. Mau jadi apa generasi masa yang akan datang apabila mereka
dihasilkan dan dibentuk serta berhasil dari cara yang tidak baik, tidak jujur,
dan amoral? Lebih jauhnya akan bagaimanakah hancurnya bangsa dan negara ini
jika di masa depan dikelola oleh orang-orang yang sudah tidak jujur dimulai
ketika mereka berada di bangku sekolah? Secara logika, apabila ketika menempuh
pendidikan mereka sudah tak jujur, besar kemungkinan di dunia kerja pun tak
akan lebih jujur, bahkan mungkin lebih menjadi dikarenakan tingkat kemahiran
menyontek yang telah begitu terasah. Sehingga bukan hal yang tidak mungkin,
para koruptor itu adalah produk dari para pelajar penyontek ini.
Budaya
Menyontek, dalam beberapa tulisan yang pernah penulis temui
dirangkai dengan kata budaya, sehingga kurang lebih penulisannya menjadi
"budaya menyontek". Sebagai contoh, penulis menemui kalimat seperti "Budaya
menyontek sepertinya sudah menjadi hal biasa yang dapat ditemui di lingkungan
sekolah" atau " Sepertinya menyontek sudah menjadi budaya yang
berkembang pesat di masyarakat sehingga seolah sudah menjadi budaya".
Namun menurut penulis, merangkaikan kata menyontek dengan kata
budaya baik dalam rangkaian frase ataupun dalam bentuk kalimat yang mengarah
kepada pemaknaan bahwa menyontek itu adalah budaya. Hal yang penulis tidak
setujui adalah karena budaya merujuk kepada pengertian hasil dari budi,
pikiran, akal (cipta, rasa, dan karsa) manusia yang berkembang menjadi suatu
kebiasaan yang sukar dirubah. Sedangkan "menyontek" ini, seperti
sudah penulis singgung adalah tindakan yang amoral dan tidak memerdulikan norma
kesusilaan yang berkembang. Jelasnya, ketika seseorang mencontek, ia tidak
menggunakan cipta, rasa, dan karsanya. Sehingga, apa yang dilakukan seorang
penyontek, tidak bisa dikategorikan sebagai suatu budaya. Penulis lebih setuju
apabila menyontek ini dirangkai dengan kata "kebiasaan" sehingga
dapat lahir frase "kebiasaan menyontek". Bahkan penulis lebih senang
merangkai lagi dengan kata "buruk" di tengahnya sehingga menjadi
frase "kebiasaan buruk menyontek".
Ujian Nasional
Ujian nasional yang sudah di depan mata benar-benar sudah menjadi
ajang unjuk kemahiran mencontek ini. Berbagai macam tata cara mencontek digunakan
oleh pelajar dalam situasi ini, mulai dari cara mencontek yang
konvensional/tradisional seperti membawa catatan-catatan kecil hingga cara-cara
yang modern seperti lewat SMS dan sebagainya. Kendati larangan membawa
handphone saat ujian telah diberlakukan pemerintah, berbagai kegiatan mencontek
ala teknologi canggih lainnya tetap berkembang.
Hal yang sangat penulis khawatirkan adalah terlalu percayanya para
siswa kepada kemahiran menyontek yang mereka punya. Hal ini menyebabkan mereka
malas belajar. Sehingga hal yang utama yang dilakukan oleh mereka bukannya
mempersiapkan diri atau menghafal materi pelajaran sebelum ujian melainkan
mengatur siasat bagaimana agar mereka bisa menyontek dengan sukses.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Pengalaman penulis menjadi
pengawas TO (try out) membuktikan bahwa usaha siswa hanya
sampai pada bagaimana caranya agar ia sukses menyontek, bukan bagaimana cara
agar ia bisa menyelesaikan soal dengan baik dan benar. Jika penulis membuat
persentase, maka kecil sekali perbandingan siswa yang tidak menyontek
dibandingkan dengan yang tidak menyontek di waktu TO tersebut.
Kebiasaan menyontek di waktu TO tersebut sangat mempengaruhi
keefekifan TO yang dimaksud. TO yang awalnya dimaksudkan untuk mengecek
kesiapan siswa dan dijadikan tolak ukur untuk menyusun strategi peningkatan
kompetensi dalam menghadapi ujian sesungguhnya tersebut, disalahgunakan hanya
karena siswa merasa mereka akan malu jika nilai TO-nya jelek. Padahal nilai TO
tidak akan berpengaruh pada nilai apa pun.
Memang, rasa malu itu tidak akan mereka rasakan ketika nilai TO
mereka bagus dan memenuhi standar minimal kelulusan. Akirnya mereka terlena
dengan hasil yang sebetulnya bukan murni dari kemampuan akademisnya tersebut.
Mereka mungkin berfikir situasi dan kondisi ujian sebenarnya akan sama persis
dengan yang terjadi di TO hingga tidak ada usaha untuk meningkatkan frekuensi
belajar dan kemampuan akademik mereka. Mungkin mereka tak pernah berfikir bahwa
rasa malu itu akan benar-benar terjadi ketika mereka tidak lulus ujian
sebenarnya bukan ketika tidak lulus try out.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar