Pelayanan publik adalah hak publik. Publik berhak, bahkan sangat berhak, untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas dari penyelenggara negara dan pemerintahan dan/atau badan lain yang pembiayaannya menggunakan APBN atau APBD. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan utama bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Paling tidak tiga yang disebut pertama dari empat tujuan yang tertuang tersebut merupakan cikal bakal utama pelayanan publik bagi masyarakat, yang diberikan oleh negara melalui penyelenggara negara dana pemerintahan. Sedangkan satu yang terakhir berupa keiktsertaan dalam pergaulan internasional, namun pada akhirnya akan berkaitan pula dengan pelayanan publik bagi warga negara Indonesia. Misalnya, ketika seorang WNI sedang berada di suatu negara maka dengan hubungan yang baik antara Indonesia dengan negara tersebut maka WNI tersebut akan lebih terjamin hak-haknya.
Reformasi politik pada 1998 dan diikuti reformasi di segala bidang, melahirkan sebuah sistem pemerintahan desentralisasi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta beberapa kali perubahannya. Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dari Pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah sesuai dengan asas otonomi dan tugas pembantuan. Mayoritas kewenangan Pemerintah dilimpahkan kepada daerah, kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, dan agama. Hal ini menjadikan wewenang yang dimiliki oleh daerah begitu luas. Namun, harus disadari bahwa disamping wewenang yang luas, kewajiban Pemerintah Daerah terhadap objek-objek kewenangan ini pun menjadi sangat luas dan kompleks. Hal ini berarti pula tantangan untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat semakin luas, kompleks, dan menantang.
Beberapa kabar baik datang dari daerah-daerah yang telah mampu memberikan angin segar pelayanan publik kepada masyarakatnya. Biasanya daerah yang semerbak harum namanya ini didukung oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mapan sehingga mempunyai cukup bahan bakar untuk membangun sarana prasarana dan aspek-aspek lain bagi peningkatan kualitas pelayanan publik. Namun, bukan hanya faktor itu, faktor lain yang cukup penting adalah kepemimpinan di daerah, baik eksekutif (kepala daerah) maupun legislatif (DPRD), serta tata kelola pemerintahan yang dilakukan oleh birokrasi di daerah. Bisa jadi, daerah yang kaya dengan sumber daya alam dan industri namun para pejabatnya banyak yang korup, justru bisa menjadi juru kunci klasemen pembangunan daerah.
Selain membawa kabar baik, burung-burung pembawa kabar justru lebih banyak membawa kabar berita tidak menyenangkan dari daerah-daerah. Masyarakat di daerah mengeluh, mengadu, berdemonstrasi, menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari Pemerintah Daerahnya. Hal ini sangat wajar, karena harapan masyarakat yang telah mereka sematkan di pundak para elit di daerah bukan main tingginya. Berpijak dari pemahaman bahwa otonomi daerah adalah salah satu upaya untuk pemerataan pembangunan, masyarakat pun menantikan dan bertanya “mengapa pemerataan pembangunan belum juga saya rasakan?” atau “mengapa kehidupan kami begini-begini saja?”. Sebagian sudah sampai pada level pertanyaan meminta kepastian: “Kapan akan tersedia pelayanan pendidikan, kesehatan, perumahan, infrastruktur yang layak untuk kami?” Atau ada pula yang mencapai level curiga dan menuduh: “pemerintah hanya melayani diri mereka sendiri dengan uang kami, uang rakyat!” Melihat kondisi saat ini, dimana banyak Kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi baik sebagai tersangka, terdakwa maupun sudah diputus bersalah oleh pengadilan, tuduhan masyarakat bisa jadi benar adanya.
Masyarakat sudah menantikan perubahan yang digaung-gaungkan itu. Janji untuk mencapai kesejahteraan dengan wajah baru era reformasi. Ternyata semua itu, saat ini terbukti hanya bualan semata di mata masyarakat. Belum lagi jika mereka membandingkannya dengan segala sesuatu di masa sebelumnya, zaman Pak Harto begitu mereka menyebutnya, dimana dengan pemahaman sederhana masyarakat ukurannya sangat mudah: sembako murah, keamanan terjamin, pupuk murah d.l.l. Mereka tidak peduli dengan harga suara politik yang juga murah pada saat itu. Apa yang dirasakan sehari-hari, itulah kesejahteraan paling nyata dalam ukuran masyarakat awam.
Nampaknya kekecewaan masyarakat terhadap Pemerintah Daerah memang tidak terbantahkan. Beberapa data bahkan menunjukkan kinerja Pemerintah Daerah di era desentralisasi dan otonomi daerah ini memang tidak menunjukkan angka-angka menggembirakan. Rapor pemda-pemda banyak yang merah karena terbakar berbagai api masalah, terlihat dari berbagai sudut potret daerah: korupsi eksekutif, korupsi legislatif, korupsi berjamaah, jalan mangkrak, drainase amblas, jembatan putus, sekolah ambruk, puskesmas bocor, balita busung lapar, hutan gundul, sungai tercemar, irigasi kering, dan sejumlah potret lainnya. Di lain pihak, elit-elit daerah dan golongannya berpesta pora dengan dana-dana bansos, dana hibah, dan kepingan-kepingan emas APBN dan APBD yang hanya dinikmati segelintir orang.
Dalam catatan Ombudsman Republik Indonesia sebagai Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik, Pemerintah Daerah selalu menempati urutan pertama instansi pemerintahan yang diadukan masyarakat kepada Ombudsman RI dalam lima tahun terakhir. Bahkan, Pemerintah Daerah. Laporan masyarakat mengenai Pemerintah Daerah meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 pengaduan masyarakat tentang pelayanan Pemerintah Daerah kepada Ombudsman RI sejumlah 354 laporan (31,13%), meningkat pada tahun 2011 menjadi 671 laporan (35,94%), tahun 2012 menjadi 796 laporan (34,81%), pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 2329 laporan (45,02%), sedangkan pada tahun 2014 sejumlah 2887 laporan (43,24%).
Jumlah dan varian pelayanan publik yang diselenggarakan Pemerintah Daerah memang menjadi salah satu pemicu besarnya jumlah pengaduan tersebut.
Namun disamping itu, banyaknya pengaduan masyarakat ini berkaitan pula dengan kualitas tata kelola pemerintahan di suatu daerah, termasuk responsivitas para pejabat di daerah terhadap masalah pelayanan publik yang dihadapi warga masyarakatnya. Masyarakat di suatu daerah tidak akan sampai melapor kepada Ombudsman RI jika keluhannya telah dapat diselesaikan oleh Pemerintah Daerah itu sendiri. Namun karena Pemerintah Daerah kerap kali mengabaikan keluhan atau tidak dapat memberikan solusi penyelesaian maka sudah menjadi hak masyarakat untuk mengadu kepada lembaga-lembaga yang kompeten, salah satunya Ombudsman.
Keluarnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan undang-undang pendahulunya yaitu Undang-undang 32 Tahun 2004, menjadi harapan tersendiri bagi nasib pelayanan publik di daerah. Beberapa pengaturan di dalam undang-undang ini menegaskan pelayanan publik sebagai sesuatu yang harus ada dalam prioritas teratas perhatian Pemerintah Daerah. Di samping itu, undang-undang ini pun memberikan tambahan norma hukum baru untuk Ombudsman RI dalam melaksanakan wewenangnya terkait pelayanan publik, khususnya berkaitan dengan rekomendasi Ombudsman RI terhadap suatu maladministrasi yang terjadi dalam pelayanan publik di daerah. Salah satu pasal yang mengatur kaitan kewenangan Ombudsman RI dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah adalah Pasal 351 undang-undang ini. Pada pasal ini diatur bahwa masyarakat dapat mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah kepada Ombudsman RI dan Kepala Daerah wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI. Apabila Kepala Daerah tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat tersebut, maka dijatuhkan sanksi berupa pembinaan khusus oleh Kementerian terkait.
Bagaimanapun, harus ditegaskan ulang semangat otonomi daerah ini adalah semangat pemerataan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika pelayanan publik kepada masyarakat dijadikan prioritas utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah ini. Dengan terbitnya UU Pemda 2014, semangat itu semakin nyata terlihat, tinggal bagaimana implementasinya dapat dilakukan oleh masing-masing Pemerintah Daerah. Selain itu, Ombudsman RI dengan kekuatan 32 Perwakilan Provinsi, sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya sesuai undang-undang, harus tetap konsisten dan berintegritas dalam rangka mengawal pelayanan publik di daerah demi meningkatnya kualitas pelayanan publik bagi masyarakat.