Minggu, 04 Januari 2015

UKL-UPL Celah bagi Kerusakan Lingkungan Hidup?

Mendapatkan proyek mengenai lingkungan hidup (LH) dan bekerja dengan tim terkait dengan pengadaan dokumen yang berhubungan dengan LH merupakan pengalaman tersendiri bagi saya. Terkait dengan karir yang saya tekuni, proyek ini adalah ranah baru bagi saya untuk mengetahui seperti apa sih dokumen-dokumen yang terkait atau berhubungan dengan LH. Proyek itu adalah membuat “buku” panduan penyusunan dan pemeriksaan dokumen UKL-UPL.
13628898771886027409
Sebagian Buku Panduan UKL-UPL (dok pribadi)
Apa itu UKL-UPL? UKL adalah singkatan dari Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan UPL adalah singkatan untuk Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup. UKL-UPL muncul terkait dengan PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi usaha dan atau kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL wajib melakukan UKL dan UPL. Jadi, segala kegiatan yang tidak termasuk dalam Permen LH No. 11/2006 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL, wajib menyusun dokumen UKL-UPL.
Apa artinya bagi saya saat menggarap proyek ini? Seiring dengan waktu berjalan, saya mendapatkan sebuah gambaran bahwa UKL-UPL menjadi semacam ketatalaksanaan LH selain AMDAL. Jadi, terkait hal yang berhubungan dengan aktivitas yang berhubungan dengan LH dokumen UKL-UPL menjadi semacam penjabaran secara tertulis tentang bagaimana mengelola LH sebelum maupun sesudah kegiatan berlangsung yang berhubungan atau tidak lepas dari lingkungan sekitarnya. Dokumen UKL-UPL sendiri menjadi semacam patokan bahwa aktivitas kita terkait dengan lingkungan berjalan aman-aman saja dan yang berhubungan dengan pergeseran atau kerusakan LH itu sudah diminimalisir dari awal pengerjaannya.
Detail dokumen UKL-UPL pun secara fungsional menjadi syarat bagi pemrakarsa untuk dijadikan acuan dalam menyempurnakan desain usulan kegiatannya terkait dengan tempat/lingkungan dimana ia beroperasi. Sementara itu, adanya dokumen UKL-UPL secara umum menjadi syarat bagi pemerintah (dalam hal ini instansi terkait) untuk memberikan izin beraktivitas pemrakarsa apakah, terkait dengan pemantauan dan pengelolaan LH, sudah layak atau memadai untuk melakukan usahanya. Dengan begitu, baik pemrakarsa usaha/kegiatan diawal-awal aktivitasnya sudah berkewajiban memberikan “penggambaran umum” pada pemerintah seperti apakah kegiatannya akan berlangsung (terkait dengan LH). Sedangkan dari sisi pemerintah dokumen UKL-UPL menjadi acuan pertama dalam mengawasi kebenaran berlangsungnya kegiatan pemrakarsa yang tidak menimbulkan dampak terhadap LH.
Salah satu bagian dari dokumen UKL-UPL yang tergolong penting tetapi tidak masuk dalam peraturan mutlak adalah rona lingkungan awal. Informasi mengenai rona lingkungan awal ini perlu karena penjabarannya justru kelak akan berguna terutama bagi pemrakarsa kegiatan apabila di kemudian hari mendapatkan tuntutan terkait dengan LH. Adapun yang dicantumkan dalam bagian ini secara umum adalah kondisi topografi dan geografi, pola kepemilikan dan pemanfaatan lahan, kondisi sosial ekonomi, dan kondisi kesehatan masyarakat.
Belajar dari proyek buku ini, saya mendapatkan suatu pemahaman bahwa pemerintah tatkala memberikan izin pada dunia usaha atau aktivitas yang ada kaitannya dengan LH mau tak mau mereka memetakan banyak hal. Itulah sebabnya mengapa kesan penerbitan izin di negeri ini kesannya bertele-tele. Salah satu sebabnya, ya mungkin ini juga. Tetapi, membaca lebih lanjut tentang prosedur UKL-UPL yang sedemikian spesifik dan menuntut pula keterlibatan jejaring instansi terkait, saya mendapatkan satu kenyataan betapa ketatnya peraturan terkait lingkungan sudah ditetapkan dari awal.
Senyatanya, keberadaan dokumen UKL-UPL tidak hanya urusan instansi lingkungan hidup. Dari menyimak
13629145571616074943
Beberapa Judul Buku Panduan UKL-UPL (dok pribadi)
per proyek pembuatan buku ini saya mendapatkan bahwa per kegiatan, entah itu industri kecil atau besar atau hanya rumahan (mungkin) perlu membuat dokumen UKL-UPL. Sebagai contoh, buku panduan yang saya garap spesifik mengarah pada kegiatan-kegiatan yang potensi kerusakan lingkungannya tergolong besar. Sebutlah soal perkebunan kelapa sawit, potensi lingkungan yang terjadi ada kemungkinan seperti tanah longsor, banjir, terkait soal pembalakan liar atau penggunaan hutan lindung untuk hal ini, meski dengan alasan untuk peningkatan ekonomi warga sekitar atau secara lebih luas meningkatkan pemasukan negara [?] Apalagi jika itu dibuat dalam format “kebun” kelapa sawit. Atau seperti “industri” elektroplating yang limbah cair atau limbah padat tergolong, kalau menurut saya, tinggi. Lalu, seperti “industri” pembuatan celana jeans yang saya pernah menyaksikan limbah cairnya malah dibuang ke sungai.
Melihat apa yang saya “temukan” di akhir, tampaknya soal limbah semacam itu justru lebih banyak dihasilkan oleh “industri-industri” rumahan yang saya sendiri tidak tahu apakah usaha-usaha ini diperhatikan oleh instansi terkait. Belum lagi soal pengurusan dokumen UKL-UPL yang saya perhatikan (mungkin) tidak begitu tersosialisasikan dan tidak populer terutama untuk “industri-industri kecil”.
Terkait dengan dokumen UKL-UPL sendiri, bisa dikata dokumen ini sudah maksimal memberikan penjabaran seperti apa sebaiknya aktivitas pemrakarsa dikerjakan sedemikian rupa untuk meminimalisir segala hal yang terkait dengan LH. Begitu juga soal pemeriksaan dokumennya, dari buku panduan ini terjabarkan seperti apa pemeriksaan sewajarnya dilakukan. Hanya saja, kita memang tidak tahu diluar ini apakah ada kongkalikong antara pemrakarsa atau instansi terkait soal pelolosan izin kegiatan pemrakarsa atau pelaku usaha. Padahal, dari dokumen yang disetujui saja sudah terlihat potensi dampak lingkungan yang mungkin terjadi.
Melihat pemberitaan akhir-akhir ini terkait dengan lingkungan hidup tampaknya banyak kalangan yang cenderung mengabaikan potensi dampak LH yang kemungkinan dapat terjadi. Ambil contoh, pengelolaan tambang (atas nama) rakyat yang mengabaikan akibat-akibat yang ditimbulkan pasca mereka membuat lubang-lubang galian. Belum lagi soal remeh temeh, seperti pembuatan jalan tol di pinggiran kota Jakarta, saya ambil contoh, pengerjaannya menyisakan polusi debu yang tentunya mengganggu aktivitas warga sekitar. Sepengalaman saya, untuk yang terakhir ini, tiap pagi warga menyaksikan sisa-sisa jatuhan tanah yang dipindahkan (mungkin) oleh truk-truk angkutan pada malam hari tetapi tidak disiram atau dibersihkan lagi di aspal-aspal jalanan yang dilalui. Belum lagi aspal-aspal yang meluruh, rusak, akibat tonase berat truk-truk itu menyebabkan moda transportasi ringan yang lewat dijalan (mobil/motor pribadi, angkot, bis angkutan) harus berhati-hati berjalan.
Menyikapi hal-hal di atas sebenarnya sudah sudah sewajarnyalah instansi-instansi yang terlibat benar-benar turut mengawasi jalannya aktivitas usaha yang erat berhubungan dengan LH. Jangan sampai instansi-instansi ini hanya menerima/memberi “tukar guling” yang saling menguntungkan seraya meloloskan begitu saja potensi-dampak yang terkait dengan pencemaran LH. Meski saya masih positive thinking tetap saja ada celah dimana pelaku usaha abai pada LH. Adapun dokumen UKL-UPL tetap hanya menjadi dokumen LH belaka apabila pihak-pihak terkait tidak benar-benar melaksanakan pedoman-pedoman yang tercantum dalam dokumen tersebut hanya karena berharap perizinan kegiatan/usaha keluar dan menutup mata terhadap potensi kerusakan LH di belakang hari.

Sumber: http://green.kompasiana.com/polusi/2013/03/09/ukl-upl-celah-bagi-kerusakan-lingkungan-hidup-540449.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar