Senin, 16 Februari 2015

Menyontek dalam Menghadapi Ujian Nasional


Oleh: Asep Cahyana
 
Adalah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa menyontek adalah hal yang amat lumrah dilakukan, khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa. Pekerjaan yang dinamakan menyontek ini dalam Bahasa Inggris mempunyai padanan kata "cheat" atau "cheating". Mungkin dalam Bahasa Indonesia dapat pula disepadankan dengan kata menyadur, mengkopi, atau sebagainya. Walaupun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata yang berasal dari kata dasar "sontek" ini mempunyai beberapa arti yaitu 1. menggocoh (dengan sentuhan ringan); mencukil(bola dsb) dengan ujung kaki, 2. mengutip (tulisan dsb) sebagaimana aslinya; menjiplak.
Namun dalam kenyataannya penggunaan maknanya meluas. Menyontek yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah menyontek yang memiliki arti nomor dua dalam pengertian menurut KBBI di atas. Namun, makna dari menyontek tak hanya merujuk pada kegiatan menjiplak seperti aslinya seperti dikatakan dalam KBBI tersebut, akan tetapi juga mengarah pada suatu pekerjaan yanag tidak jujur atau tidak yang dilakukan baik secara fisiknya ataupun esensinya. Misalnya, dalam suatu ulangan atau test, kegiatan di mana perilaku menyontek banyak dilakukan, menyontek bukan hanya mengarah pada orang yang menjiplak dari buku mengenai jawaban dari apa yang menjadi soal, akan tetapi mengarah pula pada kegiatan menanyakan jawaban kepada orang lain atau baik sebelum ataupun ketika test berlangsung. Mengapa penulis bisa mengatakan sebelum test berlangsung? Karena, dengan sudah begitu canggihnya sistem mencontek itu, jawaban bisa didapat sebelum tes dimulai, berupa bocoran, misalnya.

Amoral
Namun, menyontek mempunyai nilai rasa yang lebih greget menyangkut tingkat amoralnya. Dapat dikatakan bahwa menyontek lebih mengarah kepada tindakan tidak jujur sehingga dapat dimasukan kepada tindakan yang amoral dan dapat merusak nilai-nilai budaya serta kepribadian yang baik. Menyontek dalam arti luas ini merujuk pada pekerjaan yang sangat indisipliner, amoral, dan bukan merupakan suatu tindakan yang terpuji, bahkan amat tercela yang dapat pula merusak masa depan generasi muda bahkan masa depan bangsa dan negara sehubungan generasi muda adalah generasi penerus bangsa di masa depan.
Hal inilah yang harus menjadi pertimbangan kita untuk bersamaa-sama melakukan tindakan baik secara persuasive ataupun coersive untuk menghentikannya. Mau jadi apa generasi masa yang akan datang apabila mereka dihasilkan dan dibentuk serta berhasil dari cara yang tidak baik, tidak jujur, dan amoral? Lebih jauhnya akan bagaimanakah hancurnya bangsa dan negara ini jika di masa depan dikelola oleh orang-orang yang sudah tidak jujur dimulai ketika mereka berada di bangku sekolah? Secara logika, apabila ketika menempuh pendidikan mereka sudah tak jujur, besar kemungkinan di dunia kerja pun tak akan lebih jujur, bahkan mungkin lebih menjadi dikarenakan tingkat kemahiran menyontek yang telah begitu terasah. Sehingga bukan hal yang tidak mungkin, para koruptor itu adalah produk dari para pelajar penyontek ini.

Budaya
Menyontek, dalam beberapa tulisan yang pernah penulis temui dirangkai dengan kata budaya, sehingga kurang lebih penulisannya menjadi "budaya menyontek". Sebagai contoh, penulis menemui kalimat seperti "Budaya menyontek sepertinya sudah menjadi hal biasa yang dapat ditemui di lingkungan sekolah" atau " Sepertinya menyontek sudah menjadi budaya yang berkembang pesat di masyarakat sehingga seolah sudah menjadi budaya".
Namun menurut penulis, merangkaikan kata menyontek dengan kata budaya baik dalam rangkaian frase ataupun dalam bentuk kalimat yang mengarah kepada pemaknaan bahwa menyontek itu adalah budaya. Hal yang penulis tidak setujui adalah karena budaya merujuk kepada pengertian hasil dari budi, pikiran, akal (cipta, rasa, dan karsa) manusia yang berkembang menjadi suatu kebiasaan yang sukar dirubah. Sedangkan "menyontek" ini, seperti sudah penulis singgung adalah tindakan yang amoral dan tidak memerdulikan norma kesusilaan yang berkembang. Jelasnya, ketika seseorang mencontek, ia tidak menggunakan cipta, rasa, dan karsanya. Sehingga, apa yang dilakukan seorang penyontek, tidak bisa dikategorikan sebagai suatu budaya. Penulis lebih setuju apabila menyontek ini dirangkai dengan kata "kebiasaan" sehingga dapat lahir frase "kebiasaan menyontek". Bahkan penulis lebih senang merangkai lagi dengan kata "buruk" di tengahnya sehingga menjadi frase "kebiasaan buruk menyontek".

Ujian Nasional
Ujian nasional yang sudah di depan mata benar-benar sudah menjadi ajang unjuk kemahiran mencontek ini. Berbagai macam tata cara mencontek digunakan oleh pelajar dalam situasi ini, mulai dari cara mencontek yang konvensional/tradisional seperti membawa catatan-catatan kecil hingga cara-cara yang modern seperti lewat SMS dan sebagainya. Kendati larangan membawa handphone saat ujian telah diberlakukan pemerintah, berbagai kegiatan mencontek ala teknologi canggih lainnya tetap berkembang.
Hal yang sangat penulis khawatirkan adalah terlalu percayanya para siswa kepada kemahiran menyontek yang mereka punya. Hal ini menyebabkan mereka malas belajar. Sehingga hal yang utama yang dilakukan oleh mereka bukannya mempersiapkan diri atau menghafal materi pelajaran sebelum ujian melainkan mengatur siasat bagaimana agar mereka bisa menyontek dengan sukses.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Pengalaman penulis menjadi pengawas TO (try out) membuktikan bahwa usaha siswa hanya sampai pada bagaimana caranya agar ia sukses menyontek, bukan bagaimana cara agar ia bisa menyelesaikan soal dengan baik dan benar. Jika penulis membuat persentase, maka kecil sekali perbandingan siswa yang tidak menyontek dibandingkan dengan yang tidak menyontek di waktu TO tersebut.
Kebiasaan menyontek di waktu TO tersebut sangat mempengaruhi keefekifan TO yang dimaksud. TO yang awalnya dimaksudkan untuk mengecek kesiapan siswa dan dijadikan tolak ukur untuk menyusun strategi peningkatan kompetensi dalam menghadapi ujian sesungguhnya tersebut, disalahgunakan hanya karena siswa merasa mereka akan malu jika nilai TO-nya jelek. Padahal nilai TO tidak akan berpengaruh pada nilai apa pun.
Memang, rasa malu itu tidak akan mereka rasakan ketika nilai TO mereka bagus dan memenuhi standar minimal kelulusan. Akirnya mereka terlena dengan hasil yang sebetulnya bukan murni dari kemampuan akademisnya tersebut. Mereka mungkin berfikir situasi dan kondisi ujian sebenarnya akan sama persis dengan yang terjadi di TO hingga tidak ada usaha untuk meningkatkan frekuensi belajar dan kemampuan akademik mereka. Mungkin mereka tak pernah berfikir bahwa rasa malu itu akan benar-benar terjadi ketika mereka tidak lulus ujian sebenarnya bukan ketika tidak lulus try out.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar