Jumat, 10 Februari 2017

RT/RW: POSISI KOPRAL KEWENANGAN JENDERAL

Oleh: Asep Cahyana

Jika akhir-akhir ini ramai orang bicara tentang Ahok karena kasus dugaan penistaan agama, pernah juga ramai pertentangan Ahok dengan para Ketua RT dan RW se-DKI Jakarta. Saat itu, Ahok mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan RT dan RW untuk melaporkan kinerja pelayanannya lewat aplikasi Qlue. Tidak tanggung-tanggung, tiga kali laporan dalam sehari. Ketua RT dan RW berontak tidak setuju. Masalah ini berbuntut pada Gerakan 3 Juta KTP Tolak Ahok.

Rasa-rasanya tidak ada orang dewasa yang tidak mengenal istilah Pak RT (Ketua Rukun Tetangga) dan Pak RW (Ketua Rukun Warga), baik di perkotaan maupun pedesaan. Apabila pada komunitas masyarakat ada masalah, dia adalah orang pertama yang dituju. Mungkin itu juga sebabnya dunia entertainment banyak melibatkan karakter Pak RT di film, talk show, ataupun sinetron karena perannya sangat erat dengan keseharian masyarakat.

Posisi Kopral dengan kewenangan bak Jenderal. Pertama, dia merupakan respresentasi penguasa terhadap akar rumput. Misalnya, pada sejumlah alur pelayanan publik, tanda tangan dan stempel-nya sangat mujarab bagi lancarnya proses pelayanan. Kedua, ia merupakan representasi suatu masyarakat terhadap penguasa atau komunitas lain. Misalnya, sosialisasi sejumlah kebijakan dan program pembangunan Pemerintah atau sosialisasi pembangunan pabrik biasanya cukup diwakili Ketua RT dan RW. Kedua posisi ini memiliki posisi tawar yang cukup strategis dalam lingkup, situasi, dan kepada pihak tertentu.

Posisi tawar yang strategis merupakan powers, yang menurut teori klasik sangat rentan terhadap penyelewengan. Powers tend to corrupt, begitu kata Lord Acton. Maka, tidak mengherankan apabila banyak kabar Raskin disunat RT, iuran sampah dikorupsi RW, RT lakukan pungli pengantar KTP, RW makan CSR pabrik, dan lain-lain. Dengan fakta-fakta itu, banyak orang menganggap ia menjadi penghambat pelayanan publik yang berkualitas.

Keberadaan RT dan RW di Indonesia tidak terlepas dari sejarah pendudukan Indonesia oleh Jepang. Sebagaimana dibahas dalam buku Sejarah Indonesia karangan Sartono Kartodirdjo, ialah Pemerintah Jepang yang memperkenalkan sistem tata pemerintahan RT dan RW negeri kita. Dalam bahasa Jepang, Rukun Tetangga dikenal dengan nama Tonarigumi dan Rukun Warga adalah Azzazkyokai. Konon, sistem ini dipakai oleh Jepang dalam rangka merapatkan barisan diantara para penduduk Indonesia sekaligus sebagai pengawasan dan pengendalian Pemerintahan Militer Jepang atas suatu wilayah.

Menurut Permendagri No. 5/2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, RT dan RW merupakan salah satu Lembaga Kemasyarakatan yang ada di desa atau kelurahan. Lembaga Kemasyarakatan dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra Pemerintah Desa dan lurah dalam memberdayakan masyarakat. Jenisnya bermacan-macam, mulai dari Lembaga Adat, LKMD/LPMD, PKK, Karang Taruna, dll.

Dari sekian banyak Lembaga Kemasyarakatan, RT dan RW adalah yang paling erat dengan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Hal ini karena tugasnya membantu Pemerintah Desa dan Lurah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Fungsinya antara lain: pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintahan lainnya; pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga; pembuatan gagasan dalam pelaksanaan pembangunan dengan mengembangkan aspirasi dan swadaya murni masyarakat; dan penggerak swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat di wilayahnya.

Dengan adanya fungsi pelayanan administrasi pemerintahan tersebut, maka dalam banyak pelayanan publik Surat Pengantar RT/RW selalu dipersyaratkan. Untuk membuat KTP, Keterangan Domisili, pengajuan Beasiswa Miskin dan lain-lain, surat ini bagai “surat sakti”. Tanpa surat pengantar tersebut, hampir mustahil pihak Desa atau Kelurahan akan memberikan pelayanan dalam prosedur normal.

Pertanyaannya, apakah RT dan RW mampu menyelenggarakan pelayanan publik sesuai tuntutan UU Pelayanan Publik? Faktanya, pengurus RT dan RW adalah anggota masyarakat yang memiliki profesi beragam. Sehingga yang sering terjadi, Ketua RT baru bisa ditemui pada malam hari selepas ia bekerja sebagaimana profesi dan pekerjaannya. Artinya, pelayanan publik hanya diberikan dengan sisa waktu dan tenaga sehingga cenderung tidak optimal.

Konon pada masa yang lalu, tidak ada orang dewasa benar-benar ingin menjadi Ketua RT atau RW. Kebanyakan orang yang pernah menduduki “jabatan” itu karena terpaksa. Untuk menghibur diri, dibumbuilah dengan embel-embel sebagai pengabdian.  Alasannya, Ketua RT dan Ketua RW adalah “aparat negara” paling berat tanggung jawabnya tapi kesejahteraannya nol. Berbeda dengan saat ini, banyak orang bela-belain melapor kesana-kemari karena kalah pemilihan Ketua RT atau RW. Rupanya pada zaman ini, honor Ketua RT/RW tidak separah dulu. Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui berbagai anggaran, memberikan alokasi yang lumayan. Sehingga sudah banyak juga orang yang menekuninya full time sebagai sebuah pekerjaan.

Kewenangan besar RT dan RW dalam pelayanan publik nyata adanya. Namun Pemerintah tidak boleh mempertaruhkan kualitas pelayanan publik dengan membiarkan pelayanan dilakukan dengan manajemen alakadarnya. Pemerintah mesti memerankan fungsi kontrol secara optimal. Menghilangkannya dari sistem pemerintahan di desa atau kelurahan bukan merupakan pilihan yang tepat. Sebagai alternatif, dapat dengan mencabut fungsi pelayanan administratif yang ada RT dan RW atau dengan tetap memberikan fungsi pelayanan administratif namun dengan jaminan kepatuhan secara penuh terhadap ketentuan UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar