Oleh: Asep Cahyana, S.IP.
Sejak menjadi sebuah agenda kebijakan
sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM bersubdisi, kebijakan pemberian
Bantuan Langsung Swadaya Masyarakat (BLSM) memang sudah menuai banyak kritik.
Di satu sisi, Pemerintah mendasarkan kebijakan tersebut pada asumsi bahwa
dengan menyubsidi bahan bakar minyak (BBM) maka Pemerintah sama saja dengan
menyubsidi orang kaya. Hal itu dikarenakan para pengguna mobil pengguna BBM
bersubsidi adalah orang-orang menengah keatas. Sehingga, pemerintah memandang
hal ini tidak sesuai dengan asas keadilan dan tidak pro rakyat. Namun di sisi lain, tidak sedikit yang menentang
pemberian bantuan langsung kepada masyarakat sebagai sebuah kebijakan yang
secara moral tidak mendidik masyarakat. Masyarakat diajarkan untuk
menengadahkan tangan dan dibiasakan untuk menerima semua dengan ‘gratisan’,
tanpa usaha.
Perdebatan mengenai jadi
atau tidaknya kenaikan harga BBM memang
sudah berlalu. Pemerintah, dengan wewenangnya, dan dengan dukungan mayoritas
suara DPR ‘yang katanya’ wakil rakyat, telah mengambil keputusan dengan
disahkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013.
Namun demikian, sejumlah masalah yang tidak kalah pelik justeru baru dimulai.
Ya, permasalahan terkait dengan pencairan BLSM ditemukan dimana-mana, terutama
mengenai pemberian BLSM yang salah sasaran. Kritik dari para pihak yang dari
semula menolak kebijakan ini pun kembali mengapi-api menyalahkan pemerintah.
Pemerintah tentu saja ada dalam posisi yang harus (mau) disalahkan karena
memang tidak bisa membuktikan pernyataan mereka untuk memberikan bantuan .
Mental masyarakat kita.
Sebenarnya, kejadian semacam
ini bukan yang pertama kali terjadi. Berbagai
macam bantuan pemerintah yang berlabel bantuan sosial atau bantuan untuk
orang miskin sesudah sejak lama banyak ditemukan salah sasaran. Orang yang
mampu, bergelang emas, ber-hand phone
Blackberry dan sejumlah atribut kekayaan lainnya ikut ngantri mengambil bantuan ini. Sementara, masyarakat yang tidak
mampu dalam arti yang sebenar-benarnya hanya bisa pasrah menerima kenyataan
bahwa dirinya dinilai pemerintah sebagai orang yang ‘mampu’ dan tidak ada dalam
list masyarakat kurang mampu. Sungguh
dunia sudah terbalik dibuatnya. Mengharukan…..!!! (Begitu kata Mas Tukul).
Terlepas dari kealpaan yang
dibuat Pemerintah itu, sudah seharusnya sebagai masyarakat kita pun ikut
mengawal kebijakan yang sudah ‘terlanjur’ dibuat ini. Caranya, paling tidak
dengan menilai diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk orang yang pantas
menerima bantuan itu? Apakah kita merelakan harga diri kita sebagai orang yang
diberi hanya karena beberapa lembar rupiah? Sudahkah kita menjadi orang yang
paling pantas menerimanya? Jika menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan
jujur, maka rasa-rasanya tidak akan ada orang ‘beratribut kemewahan’ yang ikut ngantri bantuan sosial.
Sebaliknya, arahkan
perhatian kita kepada tetangga-tetangga kita, masyarakat di sekitar kita,
barangkali ada diantara mereka yang lebih kurang beruntung daripada kita. Jika
mereka sudah mendapatkan apa yang menjadi hak mereka itu, kita ikut senang.
Sebaliknya, jika mereka tidak mendapatnya sudah menjadi kewajiban kita untuk
memberikan saran pendapat kepada pemerintah. Sudah selayaknya, mereka
mendapatkan haknya. Adalah tindakan yang sangat terpuji jika kita ikut membantu
pemerintah untuk memberikan bantuan kepada pihak yang paling membutuhkan.
Memang benar, kita semua sama-sama warga negera Indonesia dan sama-sama berhak
atas perhatian Negara kepada kita. Namun, diantara warga yang berhak, masih ada warga Negara yang lebih berhak
mendapatkan prioritas.
Moral Bangsa
Sudah jelas dinyatakan dalam
Pancasila, Dasar Negara dan Dasar Filsafat bangsa kita bahwa bangsa kita adalah
bangsa yang bermoral dan berbudaya yang baik. Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab. Sudah seharusnya terinternalisasi dalam jiwa setiap manusia Indonesia.
Dengan begitu, setiap tindak-tanduk kita sebagai bangsa tidak akan keluar dari
lima dasar filsafat dan pandangan hidup kita bersama tersebut.
Jika saja, setiap putera
bangsa memegang tegus filsafat tersebut. Jika saja, para puteri negeri dengan
tegas mempertahankan harga diri untuk ditukar dengan lembaran rupiah secara
‘gratisan’. Jika saja, bangsa ini konsisten menolak segala bentuk pemberian
yang tidak mendidik dan sebaliknya melawan ketidak beradayaan dengan perjuangan
dan kerja keras serta bergotong royong maka pemerintah akan malu dibuatnya.
Bayangkan, ratusan triliun uang tersebut akan kembali kepada Pemerintah yang
akan sadar dengan sendirinya bahwa mereka tidak becus membuat kebijakan yang mendidik rakyatnya. Lalu, nanti
bersama-sama kita menuntut Pemerintah untuk membuktikan sekali lagi, mampukah
mereka mengalokasikan anggaran untuk pembangunan yang lebih nyata bagi kemajuan
Negara bukan dengan menghambur-hamburkan uang untuk menyogok rakyat sesaat.
Mereka sudah mulai.
Disaat kita baru selesai
membaca tulisan ini, saudara kita sudah memulainya. Seorang kakek tua yang
tinggal di gubuk bekas kandang kambing di Jawa Timur dengan tegas menolak untuk diberikan BLSM dengan alasan
ada orang yang lebih membutuhkan daripada dirinya. Beliau mengatakan bahwa
selama dirinya masih mampu bekerja, beliau tidak berniat menggantungkan diri
pada bantuan orang lain.
Di lain tempat, seorang ibu
datang kepada pejabat setempat untuk mengembalikan surat pemanggilan sebagai
penerima BLSM karena merasa dirinya tak layak menerima bantuan ini. Mungkin
masih ada lagi yang sudah memulainya, bertanya kepada diri seberapa layakkah
disebut sebagai orang miskin lalu ‘take action’ melawan kebijakan pemerintah
dengan aksi nyata “Menolak Diberi!!!”.
Tetapi, saat kita berbicara
mengenai kemuliaan orang-orang tadi, jauh lebih banyak yang rela berdesakan
mengantri walaupun uang di dompet masih tebal.
Penulis
adalah Sekretaris Jenderal Gerakan Restorasi Sosial (GRASS). Lulusan Sarjana
Ilmu Pemerintahan STISIP Widyapuri Mandiri Sukabumi dan sekarang bekerja
sebagai Konsultan Pemerintahan di PT. ITTC untuk Kementerian Pertahanan RI.