Sabtu, 28 Januari 2017

Bentuk-bentuk Anomali Pedestrian di DKI Jakarta (Bagian I)

Melengkapi artikel-artikel sebelumnya mengenai pedestrian, kali ini kami akan menyajikan pembahasan mengenai bentuk-bentuk anomali pada prasarana dan sarana pedestrian. Tim GRASS telah melakukan observasi lapangan pada beberapa lokasi pedestrian di wilayah DKI Jakarta dan menemukan hal-hal yang bersifat anomali tersebut.

Hal-hal anomali yang dimaksud menurut penilaian Tim Observasi telah menyebabkan fungsi pedestrian tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya serta merugikan pejalan kaki. Kerugian tersebut beraneka ragam, mulai dari kenyamanan, aksesisbilitas hingga keamanan. Berikut kami tampilkan beberapa bentuk anomali prasarana dan sarana pedestrian yang ditemukan Tim GRASS di wilayah Kota Jakarta.

1. Tiang-tiang Penghalau Sepeda Motor


Tiang-tiang penghalau sepeda motor
Jumlah kendaraan bermotor yang semakin hari semakin banyak menuntut peningkatan infrastruktur jalan. Namun hal itu tidak bisa dipenuhi, akibatnya kemacetan seperti yang terjadi di Ibu Kota menjadi 'makanan' sehari-hari pengendara. Alhasil, pengendara sepeda motor yang kesadaran sosial dan kesadaran hukumnya kurang, biasanya akan mengambil jalan pintas dengan menerebos trotoar yang sebenarnya menjadi hak pejalan kaki.

Pemerintah DKI Jakarta pada masa Gubernur Joko Widodo mengambil langkah kebijakan untuk mengatasi penyerobotan trotoar oleh para pengendara sepeda motor ini. Caranya dengan membuat patok-patok atau tiang pada setiap gerbang gedung seperti terlihat pada gambar di atas. Kerapatannya diatur sehingga orang masih bisa melewatinya namun sepeda motor tidak dapat melewatinya. Hal ini dilakukan pada beberapa ruas jalan, terutama di area-area vital seperti Jl. Sudirman, Jl. Thamrin dan Jl. Rasuna Said (Kuningan).

Tiang besi di trotoar Jl. Sudirman Jakarta
Sepintas kebijakan ini sangat baik karena terbukti dapat menghalau para pemotor yang sering memyerobot masuk trotoar. Namun tanpa disadari keberadaan patok-patok ini telah menghambat mobilitas pejalan kaki itu sendiri. Pengguna kursi roda termasuk salah satu pihak yang sangat dirugikan oleh kebijakan ini karena celah antara tiang yang cukup sempit, kursi roda tidak mungkin dapat melewatinya.

2. Tanpa Ramp

Trotoar tanpa ramp
Sudah menjadi hal lumrah yang sering kita lihat pada trotoar-trotoar di seluruh Indonesia, dimana bentuknya dibuat agak tinggi sekitar 15 cm diatas jalan raya. Hal ini sangat wajar dengan pertimbangan untuk memperlihatkan batas antara jalan dan trotoar. Sisi-sisi trotoar tersebut biasanya dibatasi dengan menggunakan kurb yang bentuknya kotak persegi panjang dengan ketinggian sesuai dengan ketinggian trotoar itu.

Sepintas tidak ada yang salah dengan bentuk trotoar yang demikian karena merupakan sebuah upaya menjaga keselamatan pejalan kaki dari jangkauannya roda kendaraan (karena letaknya lebih tinggi) dan membuat trotoar tersebut terlihat lebih rapi. Namun, dilihat dari sudut pandang keberpihakan sosial khususnya terhadap penyandang disabilitas, bentuk fisik trotoar seperti ini kurang ramah. Dapat dibayangkan betapa kesulitan pengguna kursi roda atau tunanetra manakala harus melewati suatu trotoar yang memiliki bidang ketinggian yang berbeda dengan bidang sekitarnya dengan titik perubahan ketinggian yang tiba-tiba.

Pedestrian di Jl. Rasuna Said Kuningan

Maka, upaya bijak yang dapat dilakukan adalah dengan membuat bidang miring pada sisi-sisi trotoar tersebut. Itulah yang dinamakan ramp. Dengan adanya ramp, pengguna kursi roda akan lebih mudah menaiki bidang trotoar. Begitu pula penyandang tunanetra akan lebih mudah menyusuri perbedaan ketinggian bidang tersebut.

3. Galian-galian Rutin

Galian pipa air bersih milik salah satu PAM
Salah satu anomali yang sering ditemukan pada jalur pedestrian di wilayah DKI Jakarta adalah galian-galian. Galian tersebut biasanya bersifat rutin dalam beberapa bulan sekali atau beberapa tahun sekali. Ketika dilakukan galian biasanya dibuat semacam bedeng yang terbuat dari kain plastik spanduk. Otomatis bedeng terbentuk segi empat ini menutupi jalur pedestrian dan mengganggu lalu lintas pejalan kaki.

Galian-galian yang biasanya ditemukan adalah galian milik perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang listrik, telekomunikasi, pengelolaan air limbah, maupun penyaluran air bersih. Properti yang ditanam di bawah pedestrian biasanya berupa pipa, kabel optik, atau benda lain yang berhubungan dengan jenis usaha pihak swasta itu. Perusahaan air minum misalnya, menanam pipa cukup besar di bawah jalur trotoar sehingga apabila terdapat kerusakan pada pipa atau ketika hendak melakukan pemeriksaan rutin, bidang pedestrian tersebut harus digali. Parahnya, bekas galian itu pun biasanya tidak dikembalikan bentuknya secara utuh seperti sedia kala melainkan hanya ditimbun begitu saja dengan tanah merah. Alhasil, pejalan kaki dirugikan untuk kesekian kakinya. 

Galian menutupi pedestrian
Kondisi yang terus berlanjut seperti ini sangat disayangkan. Pemerintah DKI Jakarta semestinya segera menyiapkan infrastruktur bagi pipa-pipa dan kabel-kabel bawah tanah agar galian-galian rutin pada pedestrian tidak berlanjut terus menerus. Perempatan box culvert dapat menjadi solusi terhadap hal ini, dimana pihak swasta yang hendak menyimpan propertinya di bawah tanah tidak perlu menggali (baca:merusak) pedestrian, namun cukup mengikuti jalur box culvert yang tersedia. Adapun titik kontrol dapat mengikuti titik kontrol setiap sekian meter sebagaimana disediakan. Apabila hal ini dapat ditempuh, maka kerusakan berulang pada pedestrian khususnya trotoar akibat aktivitas galian tidak akan terjadi lagi...

Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar